Ban serep atau ban cadangan menjadi solusi saat kendaraan mengalami masalah ban bocor atau kempis di jalan. Walau menggunakan embel-embel cadangan, ban serep adalah piranti yang harus ada pada kendaraan. Bila sewaktu-waktu ada masalah dengan ban yang sedang dipakai, maka ban serep menjadi solusi yang dapat menyelamatkan kendaraan berserta penumpangnya. Betapa berartinya ban serep. Ban serep itu ibarat nyawa cadangan bagi pemilik kendaraan beserta para penumpangnya.
Apa hubungannya tulisan
saya dengan pengertian ban serep di atas?
Tahun pelajaran 2018-2019
ini, saya meminta kepada Yayasan dan Kepala Sekolah agar saya tidak dijadikan
wali kelas. Tiga tahun lagi menjelang pensiun membuat saya ingin melihat semua
perjalanan karya saya sebagai pendidik lebih objektif. Terlebih setelah akhir
pelajaran tahun lalu ada ‘goro-goro’ yang membuat saya memutuskan untuk
perlahan mundur dulu dan melihat dari kejauhan apa yang sudah, sedang, dan akan
terjadi.
Tampaknya ini menjadi
terdengar bijaksana. Namun bukan kebijaksanaan yang saya cari. Saya hanya ingin
menguji diri saya untuk memulai melepas beberapa hal yang menjadi peran saya
selama ini. Barangkali menjadi subjektif ketika saya memutuskan untuk melakukan
ini. Ya betul saya akui. Namun, hal yang bersifat subjektif pun berhak
seseorang lakukan karena kita memang subjek.
Dari tindakan yang
subjektif ini saya berharap justru untuk melihat segala sesuatu lebih objektif,
lebih terang, jernih, dan tak bercampur dengan ketergesaan dan kelelahan secara
fisik maupun psychis.
Kecemasan dan kekuatiran
terasa lebih besar kala akan memasuki tahun ajaran ini. Juga kegamangan dan
sedikit kurangnya harapan mewarnai kala hari menjelang masuk sekolah tiba.
Namun, segala hal yang
negative saya tepis dengan tentu saja sebuah senjata sakti saya : doa. Muncul
keyakinan bahwa ada pelangi di balik rintik hujan.
Tiba di sekolah bertemu si
A, B, C dll. Semua berseru: Halo, Teh Nung! Mereka memeluk, mencium, menautkan
tangan dalam bentuk salaman, dan juga jalinan tangan persahabatan. Sungguh
terasa manis dan hangat di hati.
Seminggu berlalu waktu
dari awal tahun pelajaran ini. Semua seru dan menderu dalam irama sibuk. Karena
tidak jadi wali kelas, saya bisa piket tiap pagi menyambut wajah-wajah segar
penuh harapan memasuki gerbang sekolah. Semangat terus berdenyut cepat melihat
generasi muda ini bersemangat menyongsong hari. Karena itu saya pun terbawa
bersemangat. Barang kali semangat ini memancar ke luar sehingga ada beberapa
teman berkomentar: wah, makin muda aja ni! O, itu artinya aura semangat saya
berpendar ke luar. Puji Tuhan!
Situasi yang tak jadi
kelas inilah yang justru sering mendapat job dadakan. Apakah gerangan? Menggantikan
teman guru lain yang tidak bisa masuk di kelasnya saat perwalian karena ada
urusan ini dan itu. Nah, di sinilah ban cadangan mulai berfungsi. Ban serep
mulai dipakai. Jadailah saya menjadi wali kelas cadangan yang laris manis
tanjung kimpul!
Saat saya jadi ban serep, ya, sedap-sedap gimana gitu! Sedapnya saya masuk
ke berbagai kelas menjadi wali kelas yag memberikan wejangan ini itu menyangkut
masalah kelas dan seluk beluk kehidupan para pelajar. Saya senang melihat
reaksi para remaja yang ‘ngowoh’ melihat saya sedang beraaksi dengan ala saya. Kalau
tidak enaknya adalah: waktu saya seharusnya kosong bisa mengerjakan yang lain
jadi hilang. Jam bebas saya terampas. Namun, saya tetap melakukannya dengan
bersemangat.
Saya hanya mengingat
sejatinya ban. Ban yang selalu dipakai akan terkena panas, kena dingin, jadi
bannya bekerja. Tapi kalau ban serep yang tidak pernah dipakai, selama setahun
aja, pasti jadi lebih keras, dan kurang lentur. Maka ban serep saatnya dipakai
harus selalu siap. Dengan dipakainya ban serep itu berarti ban serep sedang
menjalankan fungsinya.
Demikian pula saya. Saya
menggantikan perwalian pun itu artinya saya sedang menajalankan fungsi dan tugas
saya sebagai pengganti sementara. Itu artinya saya harus selalu siap. Ready.
Sedia. Karena sejatinya manusia dalam
hidup harus selalu sedia. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar