“ Bu, sebenarnya tujuan hidup kita di dunia ini utuk apa?”
seorang anak perempuan berusia 15 tahun bertanya pada saya pada satu kali
pertemuan di kelas pelajaran bahasa Indonesia.
Semakin tumbuh dewasa seseorang, maka dia akan makin bisa
berpikir. Termasuk, dia akan berpikir sebetulnya untuk apa dia melakukan
rutinitas-rutinitas yang kadang rasanya itu melelahkan, dan menyebalkan.
Seperti misalnya pekerjaan Sekolah, Kuliah, Kantor, bisnis, Rumah tangga, dan
lain-lain sebagainya.
Seperti yang dipikirkan oleh murid saya di atas.
Ketika rasa tidak enaknya terus memuncak, maka dia akan
terus mempertanyakan, sebenarnya kenapa harus melakukan hal tersebut?
Biasanya, jawabannya karena itu disuruh orang tua. Memang begitu yang diajarkan
orang tua atau guru.
Selain itu, apa memang kita harus seperti itu terus sehingga
nanti lulus pendidikan formal, kerja, nikah, punya anak; maka nanti anak
kita akan kita buat ia mengulangi apa yang pernah kita alami juga?
Apabila pertanyaan tersebut tak terjawab, buat apa kita harus
berdoa atau sholat? Berarti
sekali-sekali sholat/berdoa dan sesekali tidak, itu tidak apa-apa? Buat apa kita sekolah, kuliah, kerja?
Hidup kok jadi ribet hanya bolak-balik ke siklus yang sama.
Jawaban akan hal tersebut akan menjadi landasan kehidupan
seseorang. Yang notabene jawaban tersebut akan senantiasa diemban dan dipraktikkan.
Termasuk pada saat berinteraksi dengan orang lain, pada saat sekolah, bekerja,
pada saat berekonomi, pada saat bersosial, bahkan sampai mengajak-ajak orang
lain agar ikut mengemban keyakinan tertentu.
Seseorang atau sekelompok yang punya jawaban berupa keyakinan
bahwa di balik alam semesta dan kehidupan ini ada Sang Pencipta Yang mengadakan
seluruh alam, termasuk dirinya, tentunya akan berbeda dengan
seseorang yang tidak memiliki
keyakinan akan hal itu.
“Sang Pencipta memberikan tugas kepada
manusia, selama ia hidup. Karena kelak ada kehidupan lain setelah
kehidupan di dunia, kemudian pada saat itu Sang Pencipta akan memintai
pertanggungjawaban atas seluruh perbuatannya pada saat hidup di dunia. Apabila
sesuai tugas, maka ia akan berada di suatu tempat yang sangat menyenangkan,
yakni di Surga, untuk selama-lamanya. Kalau tidak, maka ia berpotensi akan
berada di suatu tempat yang sangat menyengsarakan, yakni di Neraka, untuk
selama-lamanya.” Begitu jawaban orang yang beragama.
Lantas pertanyaan kritis muncul seperti sebuah syair lagu :;
kalau surga dan neraka itu tak ada, aakah saya dan Anda aka juga mempercayai
Tuhan dengan segala kebaikan-Nya. Jawaban ada pada tiap individu.
Meski seandainya surga dan neraka itu tak ada, dengan
keyakinan adanya Sang Pencipta, maka mereka akan menjalani hidupnya sebagaimana
keyakinan itu. Pada saat berekonomi, berbudaya, bersosial, berpolitik; semuanya
akan diusahakan agar sesuai dengan tugas yang diberi Tuhan. Jangan sampai
menyimpang. Kalau menyimpang akan melukai orang lain yang juga berarti melukai Sang
Pencipta. Karena itu jagalah agar tidak berbuat yang merugikan siapa pun.
Namun, bagi beberapa orang yang mempunyai keyakinan bahwa
Sang Pencipta (Tuhan) tidak ada maka pandangan akan berbeda. Bagi seseorang atau kaum yang punya jawaban
berupa keyakinan bahwa alam semesta ini semuanya ada dengan sendirinya.
Katanya, “Makhluk hidup itu berasal dari materi, dan kelak akan kembali lagi
menjadi materi. Manusia itu hidup untuk mencari kebahagiaan materi selama
ia mampu hidup.” Pandangan hidupnya yang paling mendasar adalah dialektika
materi.
Dengan jawaban seperti itu, maka dia akan melakukan hal-hal
apa saja yang ia anggap layak dilakukan. Dia membuat sendiri hukum dan standarnya. Tentu
dia seperti itu pada saat berekonomi, bersosial, dan berpolitik. Bebebrapa ideologi
di dunia seperti sosialisme-komunisme mendasarkan pada dialektika materi. Namun,
tetap ada hukum yang mengatur agar semuanya berjalan terorganisir. Kehidupan
menjadi teratur bila semua orang taat aturan/hukum.
Apa pun keyakinannya, yang jelas bahwa faktanya kehidupan bersifat
terbatas. Satu kehidupan kenyataannya hanya ada pada satu individu. Sekali
selesai satu hidup individu, maka yah selesailah hidupnya individu itu. Ia
tidak bisa punya hidup atau nyawa baru lagi. Tidak ada nyawa cadangan.
Dengan melihat fakta tentang kehidupan itu, maka MENJAGA KEHIDUPAN bagi yang percaya
akan Sang Pencipta atau yang percaya akan dialektika materi, itu SANGAT PENTING. (Sumber utama www.teknikhidup.com dan beberapa sumber
lain) :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar