VIRUS CORONA V.S. IBADAT YANG SEJATI
Laut ambon
Setelah bergulirnya virus corona,
saya melihat begitu besar dampaknya pada kehidupan manusia. Tidak hanya
berkaitan dengan hal sifatnya material saja, tetapi juga dengan hal yang
rohani.
Virus corona bukan hanya merenggut
ribuan nyawa tetapi juga mengubah tata cara kehidupan manusia di seluruh dunia
mulai dari interaksi sesama maupun proses berhubungan dengan Tuhan.
Saya dengan anak perempuan saya
membicarakan hal ini. Betapa ritual keagamaan benar-benar berubah dengan
munculnya virus ini.
Lantas saya merenungkn hal ini. Umat
Hindu di Bali hari Rabu (25/3/2020) akan merayakan Hari Raya Nyepi. Prosesi
berdiam diri selama seharian tanpa melakukan aktivitas apapun menjadi bentuk
penyucian menyambut Tahun Baru Saka. Namaun, sekarang dunia sudah mulai masuk
dalam suasana ‘nyepi’ yang tidak direncanakan.
Desa di Ambon
Banyak kota-kota besar dengan
keramaiannya dan kesibukannya dalam hidup perekonomian yang hingar-bingar duniawi,
kini seperti kota mati. Demikian juga tempat ibadat tempat orang melakukan ritual
agama dan kepercayaan kini juga sepi.
Beberapa orang mengurung diri di
rumah, menghindari tempat keramaian, dan menunda perjalanan ke tempat lain. Sebagian
lainnya mengubah tata cara bersalaman dari berjabat tangan dan berpelukan
menjadi salam menggunakan siku dan kaki.
Wabah virus corona juga berdampak
dalam kehidupan keagamaan umat manusia. Sejumlah gereja, masjid, kuil, dan
sinagoga mengubah tata cara ibadah demi menahan penyebaran penyakit Covid-19.
Dari pantauan berita kita mengetahui
bahwa Masjidil Haram di Mekah biasanya dipenuhi oleh ribuan peziarah, tetapi
jumlah itu kini berkurang drastis. Masjidil Haram telah dibuka kembali usai
menjalani sterilisasi, tetapi di sekitar Ka'bah tetap dipasang penghalang agar
orang-orang tidak menyentuhnya. Larangan mengunjungi Mekah dan Madinah juga
masih diberlakukan. Berbagai umat Muslim dari seluruh dunia biasanya datang
untuk menjalani ibadah umrah yang berlangsung sepanjang tahun. Kemudian ada
sekitar delapan juta umat Muslim menunaikan ibadah haji ke sana setiap tahun. Kini
menangguhkannya.
Ambon -Lengang
Demikian juga dengan umat Hindu. Bagi
umat Hindu, saat ini adalah waktunya Holi - "festival warna" -
dirayakan. Perayaan Holi merupakan peringatan kemenangan kebaikan atas
kejahatan, serta musim semi, cinta dan kehidupan baru. Sebagai bagian dari
perayaan, orang-orang melemparkan bubuk berwarna di udara dan saling melukis
wajah. Perdana Menteri India, Narendra Modi, mengatakan tidak akan ambil bagian
dalam perayaan publik Holi kali ini. Ia menyarankan agar orang-orang
menghindari pertemuan ramai dan besar. Walau demikian, masih banyak umat Hindu
India turun ke jalan merayakan Holi selama akhir pekan, meskipun mereka tetap
mengambil tindakan pencegahan, seperti mengenakan masker wajah.
Tak ketinggalan pula Yahudi. Kepala
Rabi Israel David Lau telah mengeluarkan imbauan untuk tidak menyentuh atau
mencium mezuzah, yaitu gulungan berisi ayat-ayat agama yang ditempatkan di
tiang pintu rumah. Mezuzah biasanya disentuh atau dicium ketika memasuki
bangunan atau ruangan. Konferensi rabi Eropa juga telah menyarankan orang untuk
tidak mencium barang-barang seperti gulungan Taurat. Rabi Tabick mengatakan
bahwa tidak mencium mezuzah bukan soal besar dalam kehidupan kaum Yahudi,
tetapi "beberapa hal seperti itu telah menjadi rutinitas".
Jaffa-Israel
Tak jauh berbeda pula dengan Kristen.
Di Vatikan, Paus Fransiskus memilih untuk tidak menyampaikan berkat tradisional
Minggu dari teras jendela yang menghadap Lapangan Santo Petrus. Sebagai
gantinya ia menyampaikan berkat Minggu secara langsung melalui media internet,
dalam upaya untuk mengurangi keramaian di Vatikan. Ini dilakukan saat jutaan
orang di Italia bagian utara tengah menjalani karantina. Gereja-gereja Katolik
dari Ghana hingga Amerika Serikat dan Eropa telah mengubah cara melaksanakan
Misa guna menghentikan infeksi. Para imam gereja meletakkan hosti atau roti
sakramen di tangan para jemaat daripada di lidah. Mereka juga berhenti memberi
anggur di piala komunal.
Semua ritual kepercayaan dan
keagamaan untuk sementara waktu tidak dilakukan atau lebih disederhanakan.
Hari ini, Minggu 15 Maret 2020,
penulis dan keluarga masih mengikuti Missa di Peroko Vila Melati Mas, Gereja
St. Ambrosius. Peribadatan berjalan seperti biasanya. Yang membedakan adalah
bangku gereja yang baisanya penuh membludak, sekarang cukup lengang. Anak-anak
dan remaja biasanya hilir mudik, sekarang lebih diam. Sepertinya banyak
keluarga yang tidak membawa anak-anak ke ibadah Minnguan ini. Pihak Gereja
menyediakan cairan sanitasi di tiap pintu amsuk gereja. Salam damai yang biasanya
dilakukan dengan berjabat tangan, kini dilakukan dengan menangkupkan kedua
belah tangan di dada, sambil membungkukkan badan, dan menebar senyuman.
Ada ritual yang hilang. Mengganjal di
otak memang. Karena ritual itu sudah terbiasa dilakukan, giliran tidak, menjadikan
perasaan ada sesuatu yang kurang pas. Karena
memang manusia hidup dari kebiasaan dan ritual.
Katedral Ambon
Bacaan Injil hari ini diambil dari Yohanes
4 : 21 – 24 tentang percakapan Yesus dengan seorang perempuan Samaria. Isi percakapan
berkisar tentang air kehidupan. Dalam percakapan tersebut Tuhan Yesus menolong
wanita Samaria untuk memahami beberapa kebenaran penting tentang ibadah yang
benar, yang sesuai dengan keinginan Bapa di Surga.
What? Ibadah yang benar? Ini yang sedang
berkecamuk dan menjadi bahan pertanyaan bersamaan dengan berjangkitnya vius
corona ini yang berpengaruh terhadap ritual keagaan eperti uraian di atas. Memang
bagi Allah taka da yang kebetulan. Maka kegalauan hati saya pun, Dia jawab hari
ini dalam Misa Minggu Prapaskah ke-3.
Jawabannya adalah:
Ide mengenai menyembah Allah dalam
"roh dan kebenaran" diambil dari percakapan Yesus dengan wanita di
sumur di dalam Yohanes 4:6-30. Dalam percakapan ini, wanita ini sedang
berdiskusi mengenai tempat beribadah dengan Yesus, ia mengatakan bahwa para
Yahudi beribadah di Yerusalem, sedangkan orang Samaria beribadah di Gunung
Gerizim. Yesus baru saja mengungkapkan bahwa Ia tahu tentang banyaknya
suaminya, dan bahwa lelakinya yang sekarang bukanlah suaminya. Ini membuat dia
tidak nyaman, sehingga ia mencoba mengalihkan perhatianNya dari kehidupan
pribadinya kepada hal agama. Yesus menolak perhatianNya dialihkan dari pelajaranNya
mengenai persembahan yang semestinya: "Tetapi saatnya akan datang dan
sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam
roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian"
(Yohanes 4:23).
Katedral Ambon
Pelajaran yang berkeseluruhan
mengenai penyembahan Allah dalam roh dan kebenaran ada pada pengertian bahwa
penyembahan Allah tidak dapat dibatasi kepada suatu lokasi geografis atau
penyediaan sementara dalam hukum Perjanjian Lama. Dengan datangnya Kristus,
perpisahan antara Yahudi dan non-Yahudi sudah tidak relevan, sama-halnya dengan
sentralnya bait dalam beribadah. Dengan datangnya Kristus, semua anak-anak
Allah mendapatkan akses yang sama kepada Allah melaluiNya. Beribadah menjadi
bagian dari hati seseorang, bukan praktik eksternal, dan dibimbing oleh
kebenaran - bukan oleh upacara.
Dalam Ulangan 6: 5, Musa mengumumkan
kepada Israel cara mereka harus mengasihi Allah mereka: "Kasihilah TUHAN,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
kekuatanmu." Penyembahan kita akan Allah dituntun oleh kasih kita
kepadaNya; sebagaimana kita mengasihi, begitu pula kita menyembahNya. Ide
"kekuatan" di dalam bahasa Ibrani membahas konsep keseluruhan, Yesus
memperluas istilah ini untuk mencakup "pikiran" dan
"kekuatan" (Markus 12:30; Lukas 10:27). Menyembah Allah dalam roh dan
kebenaran bersangkutpaut dengan mengasihi Dia dengan seluruh hati, jiwa,
pikiran, dan kekuatan.
Menyembah Allah hanya dapat dilakukan ketika
seeorang memiliki pengenalan secara pribadi terhadap Allah yang disembahnya.
Bagaimana mungkin seseorang dapat menyembah Allah dengan benar, jika ia sendiri
belum mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya? Wanita Samaria itu beranggapan bahwa
dirinya adalah bagian dari masyarakat Samaria yang menyembah Allah di gunung
Samaria, sebagaimana diajarkan turun temurun oleh nenek moyang mereka.
Akan tetapi sikap hidup wanita
Samaria itu, tidak menunjukkan bahwa ia mengenal Allah yang diajarkan oleh
Kitab Suci. Jika seorang mengenal Allah dengan benar, maka orag tersebut pastilah
hidup dalam penyerahan dan ketaatan pada Firman Allah. Ia akan rajin
mempelajari Firman Allah untuk mengenal Allah dengan benar dan dengan itu ia
mengalami perubahan-perubahan hidup sesuai dengan tuntutan/ ajaran Tuhan.
Allah
adalah Roh yang tidak dibatasi oleh
tempat dan waktu. Pengenalan akan natur Allah yang seperti itu memungkinkan
orang menyembah-Nya lepas dari tempat tertentu dan waktu-waktu tertentu.
Artinya, orang tidak lagi terikat pada tempat tertentu untuk dapat menyembah
Tuhan. Ia dapat melakukannya dimana saja dan kapan saja. Wanita Samaria itu
masih saja terikat pada tradisi yang membatasinya untuk berpikir bahwa Orang
Samaria beribadah di gunung dan Orang Yahudi di Yerusalem. Kebebasan untuk
menyembah Allah, dimana saja dan kapan saja, merupakan hak istimewa dan
sukacita setiap orang yang mengenal Allah dengan benar, Allah yang hadir dimana
saja. Setiap saat, setiap tindakan, setiap tarikan nafas, setiap pikiran,
perasaan, dapat merupakan penyembahan kepada Tuhan – jika dilakukan dengan
penuh kesadaran akan kehadiran-Nya yang tak terbatas itu.
Bagi pengikut Kristus, penyembahan
kepada Allah yang sejati, hanya dapat dilakukan melalui Yesus sang Kristus/
Mesias. Hanya Dialah yang dapat memberikan air hidup yang tidak akan pernah
berhenti mengalir dalam diri seorang percaya. Air yang terus-menerus
membersihkan, mengubahkan seseorang untuk menyembah Tuhan dengan benar.
Pengenalan akan Yesus menuntun seseorang pada pengenalan akan Allah yang
sejati. Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya dengan jelas kepada wanita Samaria itu:
“…Akulah Dia (Sang Mesias)….”, yang akan memberitahukan segala sesuatu kepada
umat-Nya. Wanita Samaria itu berubah, ia percaya dan dengan penuh keberanian
masuk ke dalam kota untuk mengajak orang-orang bertemu dengan Yesus Sang Mesias
itu, karena ia sendiri telah bertemu dengan Mesias secara pribadi.
Penyembahan yang benar harus ada
"dalam roh", yakni, melibatkan keseluruhan hati. Kecuali ada gairah
bagi Allah, penyembahan dalam roh tidak mungkin. Bersamaan dengan ini,
penyembahan harus dilakukan "dalam kebenaran", yaitu dengan pengertian
yang benar. Kecuali kita mengerti Allah yang kita sembah, tidak ada penyembahan
dalam kebenaran. Keduanya diperlukan untuk melakukan penyembahan yang memuaskan
dan memuliakan Allah. Roh tanpa kebenaran membawa kita kepada pengalaman yang
dangkal dan terlampau emosional sehingga jika emosi tersebut hambar, maka
penyembahan itu pula akan hambar. Kebenaran tanpa roh akan berakibat pada suatu
perjumpaan yang garing dan tak bergairah yang seringkali membawa kita kepada
legalisme yang tak menyenangkan. Perpaduan dari kedua aspek penyembahan
menghasilkan penghayatan yang sukacita sebagaimana diulas oleh Firman. Seiring
dengan bertambahnya pengetahuan kita akan Allah, demikian pula bertambahnya
apresiasi akan Dia. Makin besar apresiasi kita, semakin dalam penyembahan kita.
Semakin dalam penyembahan kita, semakin dipermuliakannya Allah.
Perpaduan roh dan kebenaran dalam
penyembahan telah dirangkumkan dengan baik : kita tentunya telah menyadari
bahwa hanyalah kebenaran yang dapat benar-benar mempengaruhi emosi dalam cara
yang mempermuliakan Allah, sang Pencipta. Kebenaran tentang Allah, yang tak
ternilai, hanya layak dihargai dengan gairah yang tak terbatas. Penyembahan ini
tidak tergantung pada ritual atau tempatnya. Namun, jauh melampaui semua itu
yaitu di dalam diri kita sebagai Bait Allah tempat RohAllah bersemayam di
dalamnya.
Dengan demikian, maka ‘nyepi’hening
menjadi penting kala seseorang masuk apda Bait Allah dalam dirinya. Benar apa
yang diajarkan dalam Hindu. Nyepi mengandung makna dan tujuan yang sangat dalam
dan mulia. Seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual yang
dilakukan umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis sehingga
ketenangan dan kedamaian hidup bisa terwujud. Sehingga filosofi dari Nyepi bagi
saya dan masyarakat Hindu Bali seperti 'mengistirahatkan' dalam sehari dari
berbagai aktivitas yang dapat membuat alam itu rusak,"
Kiranya virus corona yang
menghebohkan ini, dapat juga mendatangkan hikmat bagi kita semua. Hikmat yang
membawa kita pada ibadat yang sejati bagi Dia, Sang Pencipta segala. Hikmat bagi alam untuk juga
boleh beristirahat dari kehingaran dan aneka polusi dampak kegiatan manusia. Hikmat
pada diri kita masing-masing untuk lebih dekat dengan ‘aku’yang ada dalam diri
kita. Hikmat juga untuk alam beristirahat dan mengatur kembali sehingga dengan indahnya burung-burung pun datang untuk memuji Sang Ilahi mengelilingi Kabah. hikmat agar kita lebih sadar dan peduli pada keshatan tubuh kita. Hikmat lebih menyadari betapa berharganya kehidupan. hikmat bahwa kita tergantung pada suatu kuasa di luar kendali kita.
Selamat menjalankan penziarahan di masa
Prapaskah bagi umat Katolik dan menghadapi Nyepi bagi umat Hindu Bali. Juga selamat
menjalankan ibadat sejati bagi semua mahluk di Bumi ini. Damai di Bumi dan
damai di hati. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar