Minggu, 15 Maret 2020

REFLEKSI TENTANG VIRUS CORONA


VIRUS CORONA V.S. IBADAT YANG SEJATI

Laut ambon


Setelah bergulirnya virus corona, saya melihat begitu besar dampaknya pada kehidupan manusia. Tidak hanya berkaitan dengan hal sifatnya material saja, tetapi juga dengan hal yang rohani.

Virus corona bukan hanya merenggut ribuan nyawa tetapi juga mengubah tata cara kehidupan manusia di seluruh dunia mulai dari interaksi sesama maupun proses berhubungan dengan Tuhan.



Saya dengan anak perempuan saya membicarakan hal ini. Betapa ritual keagamaan benar-benar berubah dengan munculnya virus ini.

Lantas saya merenungkn hal ini. Umat Hindu di Bali hari Rabu (25/3/2020) akan merayakan Hari Raya Nyepi. Prosesi berdiam diri selama seharian tanpa melakukan aktivitas apapun menjadi bentuk penyucian menyambut Tahun Baru Saka. Namaun, sekarang dunia sudah mulai masuk dalam suasana ‘nyepi’ yang tidak direncanakan.

Desa di Ambon

Banyak kota-kota besar dengan keramaiannya dan kesibukannya dalam hidup perekonomian yang hingar-bingar duniawi, kini seperti kota mati. Demikian juga tempat ibadat tempat orang melakukan ritual agama dan kepercayaan kini juga sepi.  

Beberapa orang mengurung diri di rumah, menghindari tempat keramaian, dan menunda perjalanan ke tempat lain. Sebagian lainnya mengubah tata cara bersalaman dari berjabat tangan dan berpelukan menjadi salam menggunakan siku dan kaki.


Wabah virus corona juga berdampak dalam kehidupan keagamaan umat manusia. Sejumlah gereja, masjid, kuil, dan sinagoga mengubah tata cara ibadah demi menahan penyebaran penyakit Covid-19.

Dari pantauan berita kita mengetahui bahwa Masjidil Haram di Mekah biasanya dipenuhi oleh ribuan peziarah, tetapi jumlah itu kini berkurang drastis. Masjidil Haram telah dibuka kembali usai menjalani sterilisasi, tetapi di sekitar Ka'bah tetap dipasang penghalang agar orang-orang tidak menyentuhnya. Larangan mengunjungi Mekah dan Madinah juga masih diberlakukan. Berbagai umat Muslim dari seluruh dunia biasanya datang untuk menjalani ibadah umrah yang berlangsung sepanjang tahun. Kemudian ada sekitar delapan juta umat Muslim menunaikan ibadah haji ke sana setiap tahun. Kini menangguhkannya.

Ambon -Lengang

Demikian juga dengan umat Hindu. Bagi umat Hindu, saat ini adalah waktunya Holi - "festival warna" - dirayakan. Perayaan Holi merupakan peringatan kemenangan kebaikan atas kejahatan, serta musim semi, cinta dan kehidupan baru. Sebagai bagian dari perayaan, orang-orang melemparkan bubuk berwarna di udara dan saling melukis wajah. Perdana Menteri India, Narendra Modi, mengatakan tidak akan ambil bagian dalam perayaan publik Holi kali ini. Ia menyarankan agar orang-orang menghindari pertemuan ramai dan besar. Walau demikian, masih banyak umat Hindu India turun ke jalan merayakan Holi selama akhir pekan, meskipun mereka tetap mengambil tindakan pencegahan, seperti mengenakan masker wajah.

Tak ketinggalan pula Yahudi. Kepala Rabi Israel David Lau telah mengeluarkan imbauan untuk tidak menyentuh atau mencium mezuzah, yaitu gulungan berisi ayat-ayat agama yang ditempatkan di tiang pintu rumah. Mezuzah biasanya disentuh atau dicium ketika memasuki bangunan atau ruangan. Konferensi rabi Eropa juga telah menyarankan orang untuk tidak mencium barang-barang seperti gulungan Taurat. Rabi Tabick mengatakan bahwa tidak mencium mezuzah bukan soal besar dalam kehidupan kaum Yahudi, tetapi "beberapa hal seperti itu telah menjadi rutinitas".

Jaffa-Israel

Tak jauh berbeda pula dengan Kristen. Di Vatikan, Paus Fransiskus memilih untuk tidak menyampaikan berkat tradisional Minggu dari teras jendela yang menghadap Lapangan Santo Petrus. Sebagai gantinya ia menyampaikan berkat Minggu secara langsung melalui media internet, dalam upaya untuk mengurangi keramaian di Vatikan. Ini dilakukan saat jutaan orang di Italia bagian utara tengah menjalani karantina. Gereja-gereja Katolik dari Ghana hingga Amerika Serikat dan Eropa telah mengubah cara melaksanakan Misa guna menghentikan infeksi. Para imam gereja meletakkan hosti atau roti sakramen di tangan para jemaat daripada di lidah. Mereka juga berhenti memberi anggur di piala komunal.

Semua ritual kepercayaan dan keagamaan untuk sementara waktu tidak dilakukan atau lebih disederhanakan.


Hari ini, Minggu 15 Maret 2020, penulis dan keluarga masih mengikuti Missa di Peroko Vila Melati Mas, Gereja St. Ambrosius. Peribadatan berjalan seperti biasanya. Yang membedakan adalah bangku gereja yang baisanya penuh membludak, sekarang cukup lengang. Anak-anak dan remaja biasanya hilir mudik, sekarang lebih diam. Sepertinya banyak keluarga yang tidak membawa anak-anak ke ibadah Minnguan ini. Pihak Gereja menyediakan cairan sanitasi di tiap pintu amsuk gereja. Salam damai yang biasanya dilakukan dengan berjabat tangan, kini dilakukan dengan menangkupkan kedua belah tangan di dada, sambil membungkukkan badan, dan menebar senyuman.

Ada ritual yang hilang. Mengganjal di otak memang. Karena ritual itu sudah terbiasa dilakukan, giliran tidak, menjadikan perasaan ada  sesuatu yang kurang pas. Karena memang manusia hidup dari kebiasaan dan ritual.

Katedral Ambon

Bacaan Injil hari ini diambil dari Yohanes 4 : 21 – 24 tentang percakapan Yesus dengan seorang perempuan Samaria. Isi percakapan berkisar tentang air kehidupan. Dalam percakapan tersebut Tuhan Yesus menolong wanita Samaria untuk memahami beberapa kebenaran penting tentang ibadah yang benar, yang sesuai dengan keinginan Bapa di Surga.
What? Ibadah yang benar? Ini yang sedang berkecamuk dan menjadi bahan pertanyaan bersamaan dengan berjangkitnya vius corona ini yang berpengaruh terhadap ritual keagaan eperti uraian di atas. Memang bagi Allah taka da yang kebetulan. Maka kegalauan hati saya pun, Dia jawab hari ini dalam Misa Minggu Prapaskah ke-3.

Jawabannya adalah:  

Ide mengenai menyembah Allah dalam "roh dan kebenaran" diambil dari percakapan Yesus dengan wanita di sumur di dalam Yohanes 4:6-30. Dalam percakapan ini, wanita ini sedang berdiskusi mengenai tempat beribadah dengan Yesus, ia mengatakan bahwa para Yahudi beribadah di Yerusalem, sedangkan orang Samaria beribadah di Gunung Gerizim. Yesus baru saja mengungkapkan bahwa Ia tahu tentang banyaknya suaminya, dan bahwa lelakinya yang sekarang bukanlah suaminya. Ini membuat dia tidak nyaman, sehingga ia mencoba mengalihkan perhatianNya dari kehidupan pribadinya kepada hal agama. Yesus menolak perhatianNya dialihkan dari pelajaranNya mengenai persembahan yang semestinya: "Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian" (Yohanes 4:23).

Katedral Ambon

Pelajaran yang berkeseluruhan mengenai penyembahan Allah dalam roh dan kebenaran ada pada pengertian bahwa penyembahan Allah tidak dapat dibatasi kepada suatu lokasi geografis atau penyediaan sementara dalam hukum Perjanjian Lama. Dengan datangnya Kristus, perpisahan antara Yahudi dan non-Yahudi sudah tidak relevan, sama-halnya dengan sentralnya bait dalam beribadah. Dengan datangnya Kristus, semua anak-anak Allah mendapatkan akses yang sama kepada Allah melaluiNya. Beribadah menjadi bagian dari hati seseorang, bukan praktik eksternal, dan dibimbing oleh kebenaran - bukan oleh upacara.

Dalam Ulangan 6: 5, Musa mengumumkan kepada Israel cara mereka harus mengasihi Allah mereka: "Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu." Penyembahan kita akan Allah dituntun oleh kasih kita kepadaNya; sebagaimana kita mengasihi, begitu pula kita menyembahNya. Ide "kekuatan" di dalam bahasa Ibrani membahas konsep keseluruhan, Yesus memperluas istilah ini untuk mencakup "pikiran" dan "kekuatan" (Markus 12:30; Lukas 10:27). Menyembah Allah dalam roh dan kebenaran bersangkutpaut dengan mengasihi Dia dengan seluruh hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan.


Menyembah Allah hanya dapat dilakukan ketika seeorang memiliki pengenalan secara pribadi terhadap Allah yang disembahnya. Bagaimana mungkin seseorang dapat menyembah Allah dengan benar, jika ia sendiri belum mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya? Wanita Samaria itu beranggapan bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat Samaria yang menyembah Allah di gunung Samaria, sebagaimana diajarkan turun temurun oleh nenek moyang mereka.

Akan tetapi sikap hidup wanita Samaria itu, tidak menunjukkan bahwa ia mengenal Allah yang diajarkan oleh Kitab Suci. Jika seorang mengenal Allah dengan benar, maka orag tersebut pastilah hidup dalam penyerahan dan ketaatan pada Firman Allah. Ia akan rajin mempelajari Firman Allah untuk mengenal Allah dengan benar dan dengan itu ia mengalami perubahan-perubahan hidup sesuai dengan tuntutan/ ajaran Tuhan.


Allah adalah Roh yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Pengenalan akan natur Allah yang seperti itu memungkinkan orang menyembah-Nya lepas dari tempat tertentu dan waktu-waktu tertentu. Artinya, orang tidak lagi terikat pada tempat tertentu untuk dapat menyembah Tuhan. Ia dapat melakukannya dimana saja dan kapan saja. Wanita Samaria itu masih saja terikat pada tradisi yang membatasinya untuk berpikir bahwa Orang Samaria beribadah di gunung dan Orang Yahudi di Yerusalem. Kebebasan untuk menyembah Allah, dimana saja dan kapan saja, merupakan hak istimewa dan sukacita setiap orang yang mengenal Allah dengan benar, Allah yang hadir dimana saja. Setiap saat, setiap tindakan, setiap tarikan nafas, setiap pikiran, perasaan, dapat merupakan penyembahan kepada Tuhan – jika dilakukan dengan penuh kesadaran akan kehadiran-Nya yang tak terbatas itu.

Bagi pengikut Kristus, penyembahan kepada Allah yang sejati, hanya dapat dilakukan melalui Yesus sang Kristus/ Mesias. Hanya Dialah yang dapat memberikan air hidup yang tidak akan pernah berhenti mengalir dalam diri seorang percaya. Air yang terus-menerus membersihkan, mengubahkan seseorang untuk menyembah Tuhan dengan benar. Pengenalan akan Yesus menuntun seseorang pada pengenalan akan Allah yang sejati. Tuhan Yesus menyatakan diri-Nya dengan jelas kepada wanita Samaria itu: “…Akulah Dia (Sang Mesias)….”, yang akan memberitahukan segala sesuatu kepada umat-Nya. Wanita Samaria itu berubah, ia percaya dan dengan penuh keberanian masuk ke dalam kota untuk mengajak orang-orang bertemu dengan Yesus Sang Mesias itu, karena ia sendiri telah bertemu dengan Mesias secara pribadi.


Penyembahan yang benar harus ada "dalam roh", yakni, melibatkan keseluruhan hati. Kecuali ada gairah bagi Allah, penyembahan dalam roh tidak mungkin. Bersamaan dengan ini, penyembahan harus dilakukan "dalam kebenaran", yaitu dengan pengertian yang benar. Kecuali kita mengerti Allah yang kita sembah, tidak ada penyembahan dalam kebenaran. Keduanya diperlukan untuk melakukan penyembahan yang memuaskan dan memuliakan Allah. Roh tanpa kebenaran membawa kita kepada pengalaman yang dangkal dan terlampau emosional sehingga jika emosi tersebut hambar, maka penyembahan itu pula akan hambar. Kebenaran tanpa roh akan berakibat pada suatu perjumpaan yang garing dan tak bergairah yang seringkali membawa kita kepada legalisme yang tak menyenangkan. Perpaduan dari kedua aspek penyembahan menghasilkan penghayatan yang sukacita sebagaimana diulas oleh Firman. Seiring dengan bertambahnya pengetahuan kita akan Allah, demikian pula bertambahnya apresiasi akan Dia. Makin besar apresiasi kita, semakin dalam penyembahan kita. Semakin dalam penyembahan kita, semakin dipermuliakannya Allah.


Perpaduan roh dan kebenaran dalam penyembahan telah dirangkumkan dengan baik : kita tentunya telah menyadari bahwa hanyalah kebenaran yang dapat benar-benar mempengaruhi emosi dalam cara yang mempermuliakan Allah, sang Pencipta. Kebenaran tentang Allah, yang tak ternilai, hanya layak dihargai dengan gairah yang tak terbatas. Penyembahan ini tidak tergantung pada ritual atau tempatnya. Namun, jauh melampaui semua itu yaitu di dalam diri kita sebagai Bait Allah tempat RohAllah bersemayam di dalamnya.

Dengan demikian, maka ‘nyepi’hening menjadi penting kala seseorang masuk apda Bait Allah dalam dirinya. Benar apa yang diajarkan dalam Hindu. Nyepi mengandung makna dan tujuan yang sangat dalam dan mulia. Seluruh rangkaian Nyepi merupakan sebuah dialog spiritual yang dilakukan umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis sehingga ketenangan dan kedamaian hidup bisa terwujud. Sehingga filosofi dari Nyepi bagi saya dan masyarakat Hindu Bali seperti 'mengistirahatkan' dalam sehari dari berbagai aktivitas yang dapat membuat alam itu rusak,"


Kiranya virus corona yang menghebohkan ini, dapat juga mendatangkan hikmat bagi kita semua. Hikmat yang membawa kita pada ibadat yang sejati bagi Dia, Sang  Pencipta segala. Hikmat bagi alam untuk juga boleh beristirahat dari kehingaran dan aneka polusi dampak kegiatan manusia. Hikmat pada diri kita masing-masing untuk lebih dekat dengan ‘aku’yang ada dalam diri kita. Hikmat juga untuk alam beristirahat dan  mengatur kembali sehingga dengan indahnya burung-burung pun datang untuk memuji Sang Ilahi mengelilingi Kabah. hikmat agar kita lebih sadar dan peduli pada keshatan tubuh kita. Hikmat lebih menyadari betapa berharganya kehidupan.  hikmat bahwa kita tergantung pada suatu kuasa di luar kendali kita. 

Selamat menjalankan penziarahan di masa Prapaskah bagi umat Katolik dan menghadapi Nyepi bagi umat Hindu Bali. Juga selamat menjalankan ibadat sejati bagi semua mahluk di Bumi ini. Damai di Bumi dan damai di hati. (Ch. Enung Martina)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar