Minggu, 08 Februari 2009

PERJALANAN SELAT SUNDA

DI SUMATRA AKU TERPANA

Selat Sunda, Sabtu, 29 November 2008, jam 07.00, pagi
Titian Nusantara, sebuah kapal fery yang sudah membuka pintunya lebar-lebar untuk dimasuki berbagai barang dan orang. Hiruk pikuk di pelabuhan. Penjaga pintu, satpam, petugas karcis, pedagang asongan, para sopir truk, bus, dan kendaraan pribadi. Semua bergegas dalam aktivitas. Bis kecil kami dengan Kang Yayan seagai driver, Kang Rustam sebagai asisten, juga antri dalam barisan menuju pintu Titian Nusantara. Dalam kehangatan mentari pagi, Titian Nusantara berdiri dengan anggunnya menyambut siapa pun dan apa pun yang dijejalkan di perutnya. Dalam diam, ia menjalankan tugasnya.
Laut biru, ombak tenang, mentari bersinar, langit terang. Sunguh perpaduan yang manis untuk hari ini. Lihatlah serombongan manusia berlalu-lalang di dalam Titian Nusantara. Mereka mencari tempat yang nyaman untuk menikmati perjalanan menyebrangi Selat Sunda. Kami, Laskar Maria, Putri Kerahiman Sejati (PKS) juga ikut dalam arus di dalam kesibukan Titian Nusantara. Kami terdiri dari oma-oma, ibu-ibu, bapak-bapak, dan para lajang, dan dua suster, juga sibuk mencari tempat yang nyaman untuk menikmati penyebrangan kami. Ada yang mejeng di geladak, yang memilih duduk di anjungan, dan ada juga yang memilih tinggal di bis.
Cuplikan kesibukan di Titian Nusantara kurekam dengan mata, telinga, dan catatan di tangan. Seorang lelaki separuh baya sedang menelepon dengan logat melayunya. Seorang lelaki lain sedang berbicara dengan perempuan yang mungkin kekasihnya dalam bahasa Jawa. Ada juga ibu-ibu sibuk menyuapi anak perempuannya yang gemuk dan lucu. Sementara itu lagu dangdut mengalun di tempat lain dari kios yang berjualan aneka panganan kecil dan minuman ringan. Betapa hidup itu indah. Ada gerak aneka dan suara beragam.
Sementara itu, laut yang biru, ombak yang tenang mengalun, dan sepoi angin bisa kita nikmati dari gladak. Angin laut yang bergaram terasa segar menembus paru-paru. Dua jam setengah, waktu untuk menyebrang Selat Sunda yang memisahkan dua pulau besar Jawa dan Sumatra. Kini kami sudah berada di Pulau Sumatra. Kami siap menuju perjalanan kami berziarah ke Gua Maria Laverna, Padang Bulan, Pring Sewu, Lampung.
Ziarah ke Gua Maria diawali denagn Jalan Salib dari perhentian satu sampai perhentian ke-14. Jalan Salib ini mengambil dari sudut pandang Bunda Maria sebagai ibu Yesus ang merasakan bagaimana penderitaan Sang Putra. Jalan salib dibawakan oleh Suster Evelyne, OSU dan Sr. Vivien, OSU. Setiap peserta mengikutinya dengan khidmat. Oma-oma yang sudah berusia lanjut seperti Oma Lastuti pun bisa mengikuti Jalan Salib ini dengan baik, meskipun jalan ada yang cukup terjal.
Gua Maria Laverna, yang asri dan teduh menambah kekhusukan para peserta untuk mendaraskan doa. Hari menjelang senja, matahari sudah condong ke barat. Udara dingin sudah terasa berhembus. Para peserta menyelesaikan doanya dan kembali ke bis untuk menuju penginapan di Wisma wulandari, Batu Keramat, Tenggamus, Lampung.
Makan malam di Wisma wulandari diawali dengan doa. Terasa nikmat makan nasi hangat dengan lauk pauk yang juga hangat sesudah seharian dalam perjalanan. Acara bincang rohani dengan tema Ziarah yang Senyatanya dibawakan oleh Bapak Alamsyah di aula Wisma Wulandari. Ziarah yang senyatanya itu adalah menjalani hidup ini dengan penuh syukur hingga kita siap ketikaTuhan membawa kita dari dunia ini. Kita hidup di dunia ini hanya sementara. Urip ming mampir ngumbe. Begitu orang Jawa membahasakannya. Hidup hanya mampir untuk minum
Udara yang dingin tak terasa karena peserta dihanyutkan dengan nyanyian dan juga perbincangan rohani. Namun, kala malam mulai merayap dan rasa penat tak bisa dihindarkan lagi, kantuk pun datang menyerang.
Sebelum tidur peserta dihangatkan dengan wedhang ronde, tahu isi, dan jagung bakar . Sebelum jam 24.00, para peserta sudah tak satu pun yang berkeliaran atau kongko di luar. Rupanya karena sudah kelelahan, akhirnya masuk ke peraduan masing-masing sebelum jam malam berakhir, yaitu am 24.00. Udara dingin mempercepat kantuk datang.
Jam 06.30 peserta sudah diharapkan menuju Kapel dekat penginapan untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Pagi ini perayaan Ekaristi dipimpin oleh Romo Mario, Pr.Tema yang dibawakan saat itu sama dengan bacaan hari itu, Advent Minggu Pertama : Hati-hatilah dan berjaga-jagalah (Markus 13:33-37).
Ekaristi usai. Peserta menuju ruang makan menyantap sarapan pagi sebagai bekal energi untuk perjalanan menuju Katedral Kristus Raja, Jln. Kota Raja, Bandar Lampung ( Tanjung Karang nama lama). Makan siang sudah tersedia juga dalam bentuk nasi kotak. Bis mulai bergerak ke luar dari penginapan. Kang Yayan pengendara yang sangat lihai dengan cekatan bisa melalui kelokan-kelokan tajam dan naik turun dengan lihai. Hidup Kang Yayan! Lihat ia tambah keren dengan kacamata hitamnya! Wee…Bu Ani, paparazzi kami, siap mengabadikan gaya Kang Yayan.
Mulai di jalan dengan ngoceh-ngoceh kiri kanan dulu. Kemudian sepi sesaat, ngomong lagi, tertawa lagi. Ada juga yang melanjutkan ritualnya: tidur! Pasangan termesra dalam perjalanan Mega dan Manaek asyik berdua duduk berdampingan dan berdempetan sambil memandang ke kaca jendela. Sementara itu Sang Pparazzi, siap dengan kamera di tangan untuk mengabadikan gaya yang aduhai dari para peserta yang lengah. Rupanya paparazzi kita ini suka mencuri-curi mengambil pose orang yang menurut fotografi sangat nyeni. Misalnya yang lagi bengong, lagi ngowoh (mulut terbuka), lagi ngeces. Pokoknya yang heboh-heboh seperti itu. Sementara itu Sang Ketua PKS, Yulia, asyik meliukkan badannya mengikuti irama musik yang sengaja disetelkan musik dangdut. Wah, ini memang Laskar Maria yang sangat beraneka, seperti pelangi dong. Tapi, bukan Laskar Pelangi karena itu kan nama gengnya Andrea Hirata.
Tibalah kami di Katedral. Turun. Berdoa. Naik bis lagi menuju tempat oleh-oleh. Bis penuh sesak dengan keripik pisang dan mpek-mpek. Mengapa kalau pergi senang membeli oleh-oleh? Supaya ada bukti bahwa baru pergi dari suatu tempat, kata orang begitu. Bagasi juga jangan lupa diisi. Ayo… belanja, hitung-hitung bagi-bagi rejeki dengan saudara-saudara di Lampung. Lha, Bu Sylvi malah kerja dengan laptopnya, sementara yang lain belanja. Rupanya dia ditunggu satu kata: Deadline! Makanya cari kerjaan jangan jadi penulis, Bu! Mana tulisannya Mandarin lagi. Mumet, aku, Bu!
Hari sudah rembang petang. Matahari sudah condong ke barat. Badan lelah, tapi hati bahagia. Ci Ayung masih bertahan dalam posisinya. Ci Ayung adalah peserta yang paling hebat, selain Oma Lastuti my soulmate. Apa pasal? Ci ayung peserta ziarah yang menderita kelumpuhan. Hebat kan? Bisa sampai Lampung! Kalau Oma Lastuti, peserta yang paling tua. Itulah keragaman Presidium kami. Di bis masih bernyanyi lagu pujian dari lagu Bina Iman sampai lagu pop rohani. Dari terbit matahari, sampai pada masuknya… Dan akhirnya bis kami masuk di perut raksasa, yang bernama Kertanegara, sebuah ferry yang ketika bis kami masuk, pintunya langsung ditutup. Jam menunjukkan pukul 18.05 kala itu.
O…, Kertanegara kondisinya berbeda dengan Titian Nusantara. Di sini terasa begitu jorok dan kurang terawat. Pintu WC-nya jebol dan lantainya agak kehitaman. Angin berhembus kencang di geladak. Ombak pun mulai pasang. Kertanegara bergoncang agak kencang. Anjungannya tidak ber-AC, untuk yang gratis. Orang-orang berseliweran mencari tempat nyaman dan menghindar dari terpaan angin yang cukup kencang. Langit Sumatra di tepi laut sungguh menawan. Hitam, semburat jingga dan kuning bercahaya. Tak nampak bintang. Perlahan pulau yang dalam beberapa saat ini kami injak dan jelajahi, kami tinggalkan. Hamparan cahaya dari tepi pelabuhan berkelip bagaikan untaian permata yang aneka warna. Indah. ada rasa haru menelusup dalam hati, dan rasa syukur yang mengembang dalam dada. Terima kasih Tuhan, terima kasih Bunda Maria, atas keindahan yang aku saksikan dan cinta yang berlimpah dari teman-teman dan sahabat yang aku peroleh.
Di Sumatera aku terpana dan dalam buaian angin malam di geladak ini aku tercengang akan banyak hal yang aku peroleh dalam hidupku. Pertemuan – perpisahan, suka-duka, pahit-manis, emosi yang bergejolak, kerinduan, rasa syukur, perjuangan, kekalahan, harapan, dan yang paling utama adalah cinta. Dan hatiku bernyanyi dari potongan lagu yang sering didendangkan Delon pada Indonesian Idol; Dan bila aku berdiri tegak,
sampai hari ini, bukan karena kuat dan hebatku…
Semua karena cinta, Semua karena cinta
Tak mampu diriku dapat berdiri tegak.
Terima kasih cinta…

Dan hari ini, Minggu, 30 Novemver 2008,jam 22.00, Kaki kami sudah berpijak lagi di bumi Jawa. Sepenggal kisah perjalanan kami pun berakhir.



Penulis: Christina Enung Martina
Anggota Legio Presidium Putri Kerahiman Sejati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar