Kamis, 01 Oktober 2009

MENGAMPUNI YANG TAK TERAMPUNI

Catatan setelah membaca buku Left To Tell karya Imaculee Ilibagiza bersama Steve Erwin

Imaculee Ilibagiza adalah salah seorang perempuan Rwanda yang selamat dari bencana pemusnahan etnis di Rwanda pada tahun 1994. Keluarganya (ayah, ibu, dan 2 saudara laki-lakinya) dibantai dalam peristiwa genozide-pemusnahan etnis. Bencana ini terjadi pada tahun 1994 saat itu Rwanda berada di bawah kekuasaan rezim suku Hutu. Konflik anatarsuku saat itu sering terjadi di Rwanda. Konflik yang sangat meruncing adalah antara suku Hutu dan Tutsi.

Pada saat rezim Hutu berkuasa, banyak Tutsi yang terusir dari negrinya. Mereka mencari kehidupan di Negara-negara tetangga (sinegal dll). Kehidupan mereka jauh dari sejahtera.

Puncak dari permusuhan yang terjadi yaitu dengan diorganisirnya pembantaian Tutsi oleh pemerintahan Hutu. Seluruh Rwanda dibersihkan dari ‘kecoa dan ular-ular Tutsi’ . Prinsip Hutu pada saat itu daripada dibunuh oleh Tutsi lebih baik membunuh Tutsi sebanyak-banyaknya. Jutaan orang Tutsi menjadi korban dalam pembantaian tersebut.

Kala itu Rwanada betul-betul dikuasai oleh iblis. Iblis sudah merasuk pada laki-laki dan perempuan Hutu untuk membantai sauadaranya sendiri. Para pemuda Hutu dimabukkan oleh minuman keras dan narkoba yang membuat mereka tidak menyadari perbuatan biadab mereka. Seluruh Rwanda berada dalam genggaman Sang Penguasa Kegelapan.

Ketegangan antara Hutu-Tutsi sebetulnya sudah terjadi puluhan tahun secara dingin, tidak terang-terangan atau terbuka. Meskipun ada ketegangan di anatara kedua suku tersebut, kehidupan di desa-desa tak terpengaruh oleh ketegangan tersebut. Seperti pada umumnya orang desa selalu menjunjung tinggi persaudaraan dan persatuan, demikian pula desa2 di Rwanda. Mereka hidup berdampingan sebagai tetangga, sebagai saudara, Kawin-mengawini. Segala sesuatuanya lumrah dan wajar.

Keluarga Imaculee Ilibagiza akrab denagn tetangga, saling menolong dan saling berbagi. Hal ini karena ayah Imaculee, Leonard adalah seorang tokoh yang disegani di kampungnya. Leonard seorang yang dituakan dan kerap dimintai berbagai nasihat untuk macam-macam persoalan penduduk desa. Demikian pula ibunya, Rose, beliau seorang guru yang bersedia menolong siapa pun. Imaculee dibesarkan dalam keluarga yang berlimpah kasih saying, moderat, berpendidikan, dan cukup kaya untuk ukuran di desanya.

Menjadi sebuah pertanyaan yang terus menghantui Imaculee: mengapa pembanataian keluarganya justru dilakukan oleh orang-orang yang dulu menjadi sahabat dan pernah ditolong dalam hidup mereka?

Perjalanan hidup yang benar-benar tidak masuk akal bagi Imaculee. Bagaimanana hal ini bias terjadi? Dari manakah kebencian semacam itu berasal? Mengapa Tuhan membiarkan semuanya terjadi? Di manakah hati manusia pada saat kekejian itu dilakukan? Kekuatan apa yang menggerakan kekejian dan kebiadaban itu terjadi?

Sejuta pertanyaan yang jawabannya tak kunjung bias kita temukan terus berkecamuk dalam benak orang yang membaca buku ini. Apalagi pada orang-prang yang mengalami kekejian ini.

Perjuangan Imaculee Ilibagiza untuk bertahan hidup dengan beberapa perempuan Tutsi lainnya sungguh luar biasa. Sepertinya mereka bisa bertahan hidup, sungguh tak masuk akal. Di sinilah letaknya bahwa kita melihat bahwa Tuhan ternyata tidak tidur dan tidak membiarkan ini semua terjadi.

Yang lebih menggetarkan lagi adalah perjuangan Imaculee untuk bias tetap waras, tetap berpikir positif, tetap memelihara imannya, harapannya, kasihnya, dan terlebih bisa mengampuni orang yang telah melakukan pembantaian keluarganya.

Terutama pada suatu keputusan untuk mengampuni hal yang terampuni. Itu sungguh luar biasa. Dalam ketertekanan dan kesedihan yang tak berujung, Imaculee mampu menemukan sebuah tempat pribadi, sebuah sudut di hatinya, sebuah taman sucinya, tempat ia berbicara dengan Tuhan, tempat merenungkan firman-Nya, dan memelihara kehidupan rohaninya. Dalam situasi seperti itu ia mamapu bermeditasi, menyentuh sumber iamannya dan menguatkan inti jiwanya.

Meskipun kengerian ada di sekitarnya, ia mampu menemukan pengungsian di sebuah dunia yang makin bersahabat. Ia mamapu mengagungkan Nama-Nya dalam kesesakan dan ketakberdayaan dan keputusasaan. Bahkan dalam pengungsiannya (sebuah kamar mandi sempit di rumah seorang pendeta Hutu yang baik), Imaculee bias belajar bahasa yang baru baginya: bahasa Inggris. Ia menguasai bahasa setempat dan bahasa Prancis. Ia berpikir bahasa Inggris adalah alat yang akan membuat dia bias keluar dari situasi ini. Bahasa yang akan membawa dia pada kehidupannya di dunia baru.

Masa kebebasan yang didambakan Imaculee dan teman-temannya dating dari para tentara Prancis yang bersedia menjadi para pelindung para Tutsi yang selamat. Akhirnya Imaculee Ilibagiza dan para perempuan lain keluar dari lubang persembunyiannya menuju kamp pertahanan tentara Prancis.

Dalam akhir perjuangannya, Imaculee mendapatkan kebahagiaannya. Tuhan memberikan mahkota atas imannya dan kesetiannya serta keberaniannya untuk mengampuni. Kepadanya Tuhan memberikan seorang suami yang dari perkawinan mereka Tuhan menganugrahinya dengan dua orang anak yang manis-manis.

Sekarang ia bekerja untuk PBB di New York City. Ia mendirikan Ilibagiza Foundation yaitu yayasan yang bergerak dalam bidang kemanusiaan. Yayasan ini berkarya untuk membantu menyembuhkan orang-orang dari pengalaman buruk dan pengaruh genozide dan peperangan.

Ch. Enung Martina : Untuk semua orang yang selalu berusaha untuk belajar dari pengalaman pahit dan penderitaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar