Selasa, 21 Maret 2017

PILIHAN UNTUK MENJADI BERIMAN (Retret Hari Ketiga)


PILIHAN UNTUK MENJADI BERIMAN

Usia bertambah (menjadi tua) itu pasti. Menjadi beriman itu pilihan. Tahapan perkembangan  iman seseorang bisa berjalan sesuai usia, tetapi bisa jadi, pertumbuhan iman seseorang tidak bertambah sesuai denagn usia yang makin menua.

Iman yang dewasa dalam agama apa pun adalah iman yang universal. Iman dalam tahapan ini orang mampu merasakan kesatuan dalam Allah Sang Pencipta Semesta Alam. Ia mampu ke luar dari dirinya sendiri, dari keegoisannya, dari pandangannya yang picik. Ia mampu melihat segala sesuatu melampaui ajaran agamanya sendiri. Ia mempunyai pandangan yang luas akan suatu permasalahan. Ia melihat orang lain, bahkan yang tak seiman dengannya sebagai sesama ciptaan. Karena itu, ia mampu mencapai orang lain (bahkan yang tak seiman dengannya) dengan perhatian dan cinta yang tak pandang bulu.

Iman yang dewasa adalah iman yang transformatif. Iman yang mampu membawa perubahan ke arah kebaikan bagi dirinya, keluarganya, lingkungan kerjanya, lingkungan masyarakatnya. Arah perkembangan iman seseorang dimulai dengan diri sendiri menuju kepada kebersamaan hidup dengan saling berbagi.

Iman dimulai dengan membereskan dulu hubungannya denagn dirinya sendiri. Ia sudah mampu menerima dirinya dengan segala kelemahan dan kekuatannya. Penerimaan akan dirinya. Mensyukuri keberadaannya. Menghayati bahwa ia berada di dunia untuk tujuan yang baik. Sesudah ia beres dengan dirinya sendiri, ia baru bisa menyadari keberadaan orang lain di sekitar dirinya. Ia hidup dengan perantaraan kedua orang tua. Ia juga hidup bersama saudari-saudaranya. Di samping itu ia juga sadar ada orang lain di samping keluarga intinya. Ada teman yang berbeda dengannya. Ia tahu bahwa temannya berbeda peraturan dalam keluarganya. Ia juga menyadari perbedaan latar belakang kebiasaan, budaya, agama yang dianut oleh temannya. Ia menyadari bahwa berbeda itu bukan sesuatu masalah. Ia menyadari bahwa berbeda itu baik. Bahwa orang tidak harus sama, seragam, mirip seperti dirinya. ia akan toleran akan perbedaan. Ia akan melihat bahwa berbeda itu indah.

Bila seseorang belum mengalami dan menerima dirinya, ia akan sulit menerima orang lain. Ia akan sulit untuk melihat kebaikan orang lain dan siap menerima kelemahan orang lain. Bahkan, ia juga tidak siap menerima kelebihan orang lain. Ia akan selalu dengki dan iri akan keberhasilan yang dimiliki orang lain. Bila perasaan ini tidak dibereskan sejak kecil, maka emosi negatif ini terbawa hingga dia dewasa. Kita bisa melihat begitu banyak contoh orang tidak siap menerima kelebihan orang lain. Akhirnya orang tersebut melakukan perbuatan tercela untuk bisa mengalahkan kelebihan orang lain dengan cara yang tidak terpuji.

Sering saya atau Anda sebagai orang tua mengabaikan hal ini pada anak-anak kita. Sebaiknya, kita memperhatikan emosi negatif anak-anak kita sejak dini. Biasakan mereka mampu mengatasi emosi negatif mereka dengan cara yang positif. Biasakan mereka mampu menerima kelemahan diri mereka. Biasakan mereka mampu menerima teman-temannya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ajari mereka untuk sportif saat temannya lebih unggul dari mereka.

Niscaya  anak-anak yang mempunyai emosi positif akan tumbuh dengan lebih sehat, cerdas, dan berkarakter baik. Mereka  juga kelak akan menjadi manusia dewasa yang berkarakter, siap menerima kekalahan, tidak sombong kala dia mendapatkan keberhasilan, percaya diri, dan yang pasti mampu merayakan perbedaan dengan penuh syukur kepada Sang Pencipta. Wah, betapa indahnya itu!!!!  Kalau bangsa Indonesia seperti itu, pasti Indonesia dinobatkan menjadi negara berbahagia urutan pertama di dunia. Amin!

Iman yang dewasa adalah iman yang mampu merayakan kasih dan perhatian Sang Pencipta yang menciptakan kita lengkap dengan seperangkat alam semesta yang menjadi  pendukung kehidupan kita. Dengan perangkat segenap alam semesta yang khusus diberikan Sang Pencipta untuk kita, kita bisa makin bertumbuh ke arah yang lebih baik. Bukan malah makin parah dan makin mundur dalam pertumbuhan iman kita.   Iman seseorang mempengaruhi karakter orang tersebut. Iman yang saya maksud bukan kebiasaan liturgis (doa dan segala macam upacara keagamaan). Iman yang saya maksud lebih kepada penghayatan dan praktik dalam hidup nyata yang lebih mendalam dari sekedar hal yang sifatnya liturgis. Ini juga tidak berarti bahwa hal yang liturgis itu buruk.

Dengan begitu kedewasaan iman seseorang bisa dilihat dari indikasi bagaimana orang itu mamapu semakin keluar membawa imannya menuju kepada kebersamaan hidup dengan orang lain. Ia mampu berbagi yang dinyatakan dengan tindak nyata. Berbagi harta, berbagi ilmu, berbagi tenaga, berbagi ide, berbagi kabar suka cita yang membuat orang tertulari kebaikan.

Seseorang yang beriman dewasa adalah orang yang mampu melihat perbedaan itu adalah anugrah Sang Pencipta. Ia mampu menyadari dan menghayati imannya dengan merayakan perbedaan itu. Orang yang beriman dewasa akan berhati-hati dengan segala pikiran, perkataan, dan tindakannya.

Orang yang beriman dewasa akhirnya akan menuju pada yang sifatnya universal. Mengapa universal? karena Sang Pencipta juga universal. Dia tak membedakan ciptaan-Nya dari sisi ras, agama, atau aliran, atau partai mana.

Jadi, saya dan Anda jangan dulu mengaku beriman, apabila masih terbersit dalam diri saya dan Anda bahwa tetanggamu itu adalah kafir!
(Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar