Rabu, 22 Maret 2017

SAAT LEMAH (RETRET HARI KE-2)


Saat lemah semangat dialami oleh semua orang. Untuk menghadapi situasi tersebut kita memerlukan kepercayaan dasar.  kalau kita fokus pada hal yang negatif, maka yang positif tidak nampak. Ketika seseorang memiliki sikap penerimaan terhadap keadaan dan hal yang dialaminya, ia akan mengalami kegembiraan bahkan kebahagiaan. Ketika orang berani untuk menerima kenyataan maka di situlah ada sikap iman.

Banyak orang bercita-cita untuk hidup kaya dan bahagia. Kebanyakan orang memaknai  kekayaan dari sisi duniawi. Kaya berarti banyak harta. Kita mempunyai gambaran yang menipu tentang kebahagiaan. Ilusi  ini terkadang membutakan kita sehingga kita mengejar hal yang sifatnya ilusi itu. Bila orang memahami bahawa bahagia itu adalah nyata bukan sebuah ilusi maka orang kaya bisa dimaknai sebagai orang yang tidak mempunyai keinginan lagi. Ia sudah sangat cukup. Orang kaya dengan definisi ini tak mempunyai keinginan ini dan itu, kecuali  ingin menikmati hidup itu sendiri. Dalam menikmati hidup, seseorang akan merasakan kedamaian.

Saat orang menikmati hidup, orang ini dengan sendirinya akan menerima perbedaan. Perbedaan dianggap sebagai sebuah karunia yang patut dirayakan. Perbedaan adalah hal yang harus disyukuri.

Hati-hati dengan kata ‘menerima’. Menerima  bisa dilihat dari dua cara. Seseorang menerima kenyataan hidup  dengan cara aktif, maka hal yang dilakukan orang itu bersyukur atas hidup yang dialaminya.

Dengan melalui proses pengolahan dalam perjalanan hidup seseorang, akhirnya suatu saat orang bisa menemukan kesadarannya akan sesuatu hal yang benar. Kesadaran itu dimulai dari pemahaman, kemudian orang membuka diri, lalu ia tertarik, dan mempelajari, akhirnya membuat keputusan untuk melakukan yang dianggap itu benar.
Seseorang sampai menemukan makna hidupnya karena ia terus bersabar dalam menghadapi permasalahannya. Karena bersabar akhirnya seseorang bisa bertahan dalam situasi yang menekan sekali pun.

Rancangan keselamatan dalam hidup seseorang sering tidak tampak nyata karena yang dihadapi orang tersebut adalah penderitaan dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Bungkusnya nampaknya memang kehancuran, penderitaan, kesengsaraan. Namun, ketika orang memandang lebih jauh dan lebih dalam ternyata di sana  ada rancangan keselamatan di dalamnya.

Sebuah gambaran tentang hal itu kami dapatkan dalam sebuah film yang berjudul After Shock yang diputar dalam kegiatan retret kami. Cerita berlatar-belakang bencana gempa bumi yang terkenal berkekuatan 7.8 richter melanda sebuah desa kecil bernama Tangshan di Propinsi Hebei,  Cina di tahun 1976 yang menghancurkan kota kecil dan 240.000 penduduknya menjadi korban.

Film ini bercerita tentang kisah seorang ibu, Yuan Ni, dan kedua anak kembarnya Zeng Fang dan Fang Da dan bagaimana hidup mereka berubah selamanya oleh gempa di  pagi hari bersejarah di awal tahun 1976 itu. Ketika gempa terjadi Yuan Ni dan suaminya sedang berada di luar apartemennya. Suami istri itu melihat dengan tangis bagaimana bangunan itu runtuh dan kedua kembarnya terjebak di dalamnya. Gempa itu juga merenggut suaminya.  Kedua anak umur tujuh tahun terkubur di bawah reruntuhan gempa bumi dahsyat itu. Ketika Tim penyelamat bermaksud menjelaskan kondisi kedua korban, Yuan Ni dihadapkan pada pilihan sulit, harus menyelamatkan yang mana karena  keduanya terhimpit reruntuhan bangunan yang bisa mengorbankan salah satunya. Yuan Ni dihadapkan pada keputusan yang paling sulit dalam hidupnya, ia akhirnya memilih untuk menyelamatkan anaknya Fang Da, si kembar laki-laki. Keputusan yang kemudian mengubah kehidupan mereka kelak.

Keputusan Ibunya yang memilih Fang Da menorehkan luka yang berkepanjangan bagi Zeng Fang yang ternyata masih hidup. Dengan gambar bersuasana buram, di antara mayat-mayat bergelimpangan dan di antara tumpahan darah serta germis hujan, Zeng Fang bangun dan berjalan mencari sosok ibunya. Zeng Fang yang terdampar di tempat penampungan  sementara akhirnya diadopsi oleh sepasang suami istri  tentara yang hingga akhir hayatnya tidak pernah dikaruniai seorang anak. Zeng Fang yang terluka akhirnya memilih diam seribu bahasa dan berusaha untuk melupakan dan tidak pernah mau mengingat pada kenangan buruk itu. Bukan saja karena bencana itu telah membuat banyak orang mati termasuk ayahnya,  tapi keputusan Ibunya untuk menyelamatkan adik laki-lakinya adalah keputusan yang sulit diterima oleh Zeng Fang.

Zeng Fang pun menjadi gadis introvert dan hidup dalam tekanan yang luar biasa. Sementara itu Fang Da hidup bersama ibunya yang tetap memilih tinggal di kota itu. Meski dihadapkan pada berbagai masalah menjadi orang tua tunggal dengan anak laki-laki yang bermasalah di sekolahnya,  Yuan Ni tetap bertahan dan memelihara kenangan akan cinta terhadap mendiang suaminya dan putrinya Zeng Fang. Ia  hidup dengan perasaan bersalah berkepanjangan karena suami dan anak perempuannya menjadi korban gempa itu, sementara itu ia tak bisa melakukan apa pun untuk menolong mereka.

Tiga puluh dua  tahun kemudian setelah kedua anak kembar tersebut menjalani kehidupannya sendiri-sendiri, Zeng Fang sudah menjadi dokter dan hidup di Kanada bersama suami bulenya dan putrinya.  Sedangkan  Fang Da sudah memiliki perusahaan dengan banyak karyawan dan  pindah ke kota besar. Ia sudah mampu membelikan ibunya sebuah apartemen. Ketika kota Sichuan dilanda gempa yang sama tahun 2008, keduanya tergerak datang untuk menolong mengingat keduanya pernah menjadi korban gempa yang sama. Keduanya bergabung bersama para relawan yang lain.

Fang Da bercerita pada teman sesama relawannya tentang pengalamannya dimasa kecil yang juga mengalami menjadi korban bencana gempa. Ia bercerita bahwa  kakak dan ayahnya menjadi korban dalam bencana di Desa Tangshan. Tak disangka kakak perempuannya, Zeng Fang  yang sudah 32 tahun tak pernah bertemu bahkan disangka sudah meninggal berada diantara para relawan mendengarkan percakapan kedua orang ini. Zeng Fang hanya bisa menangis mendengar bagaimana ibunya begitu merasa bersalah berkepanjangan karena peristiwa itu.

Singkat cerita, Zeng Fang dipertemukan dengan ibunya yang tidak pernah berhenti menangisi kepergian anak peremuannya meski itu sudah 32 tahun berlalu. Sungguh pertemuan yang sangat mengharukan. Yaun Ni yang merasakan keputusannya adalah sebuah kekeliruan meminta Zeng Fang memaafkan atas keputusan itu. Zeng Fang pun bercerita 32 tahun adalah waktu yang lama untuk melupakan keputusan ibunya untuk mengabaikannya. Namun keputusan Tuhan memang tidak diduga seperti apa akhrinya.


Keputusan Tuhan memang tak dapat diduga, tetapi keputusan-Nya selalu membawa manusia pada kebahagiaan dan kebaikan. Rancangan-Nya adalah rancangan kehidupan dan damai sejahtera. 

(Ch. Enung Martina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar