Rabu, 31 Mei 2017

PERJALANAN LABUAN BAJO 3

Puncak Padar

( panorama dari puncak Padar, doc. pribadi)


Hari kedua berada di Labuan Bajo membawa kami mengunjungi tiga pulau: Padar, Rinca, dan Kelor. Kunjungan pertama rombongan kami berlima belas, penumpang Kapal Kajoma Eco adalah ke Pulau Padar.

Pulau Padar

Nama Besar Pulau Padar mulai terdengar sejak tahun 2014. Sejak  banyak foto dan ulasan wisatawan yang pernah berkunjung ke pulau ini sehingga  membuat Pulau Padar menjadi salah satu tujuan favorit dalam daftar tempat wisata Labuan Bajo.

Keindahan pemadangan di bukit Pulau Padar adalah daya tarik utama. Tak  hanya itu wisatawan  bisa menikamti indahnya sunset dan sunrise di atas bukit pulau ini.  Sungguh sangat mengagumkan.

Pulau Padar adalah sebuah pulau kosong di kawasan Taman Nasional Komodo. Pulau Padar bukanlah pulau yang berpenghuni, bahkan tidak ada bangunan satupun di sini sehingga padar seolah pulau perawan yang belum pernah dikunjungi siapapun. Di pulau ini begitu sepi, tapi karena pesona kontur pulau padar yang berbukit-bukit dan bercabang seolah membentuk bintang membuat pulau ini menarik.

Ketika melihat panorama di pulau ini rasanya sangat surreal, seperti tidak nyata.  Dengan bukit-bukit menjulang tinggi dan banyak bagian yang tampaknya sukar untuk dilalui karena tebing yang curam langsung menukik ke laut. Beberapa bukit belum atau tidak dapat dijamah manusia karena trekking yang terlalu curam. 

Bagian Pulau Padar yang terhalang bukit terlihat menyimpan banyak misteri! Saya membayangkan ada mahluk-mahluk asing yang menghuni pulau-pulau kosong itu. Mereka tak bisa dilihat dengan mata biasa. Mereka bagian dari semesta yang membuatnya menjadi seimbang. Itu kan imajinasi  saya semata.

Pulau Padar letaknya cukup jauh dari pelabuhan di kota Labuan Bajo. Sebagai salah satu pulau di gugusan terluar, maka membutuhkan sekitar 3,5 jam waktu tempuh demi mencapai tempat ini. Perjalanan laut yang cukup panjang.  Perjalanan menuju Pulau Padar sangat menarik dengan berbagai pulau yang berwarna kuning kecoklatan dan birunya laut pun menjadikan pemandangan hari itu begitu kontras. Saya yang suka agak-agak romantis dan puitis jadi terbuai dengan perjalanan itu. 

Saya mempunyai pengalaman secara indrawi maupun secara emosi di puncak Bukit Padar ini. Bibir pantai pulau ini memiliki kontur yang dangkal, hal ini menyebabkan perahu yang saya tumpangi tidak dapat berlabuh di tepinya. Karena itu dibuatlah dermaga kayu di situ tempat perahu dan kapal bisa ditambatkan. 

Kapal atau perahu harus menancapkan jangkarnya sedikit menjauhi area karang dan bibir pantai. Dari situ para penumpang dapat  menggunakan perahu kecil atau sekoci untuk dapat sampai ke area pantai Pulau Padar.

Menaiki bukit di pulau ini adalah sebuah keharusan yang mutlak dan tak bisa ditawar  apabila ingin melihat keindahan pulau yang sesungguhnya. Saya ini perempuan berusia 53 tahun dengan kondisi tubuh yang biasa-biasa saja. Saya bukan atlet dan bukan pula seseorang yang penyuka  olahraga. Yang agak membuat saya agak tentram adalah saya pelaku meditasi Zhen Qi. Nah dengan keadaan fisik yang biasa saja, saya naik bukit-bukit di Pulau Padar.

Nampaknya  semua peserta naik meskipun setiap orang akan berbeda titik akhir pendakiannya. jadi paling tidak peserta bisa menginjakkan kakinya di tempat yang luar baisa ini. Saya memang suka berjalan kaki, meskipun sekarang tidak dilakukan rutin. Jadi bagi saya mendaki bukit hayo saja.

Untung  saat itu matahari  belum berada di puncaknya. Meskipun tergolong pagi, matahari begitu terik tanpa terlihat ada awan yang melintas di atas kepala. Terang benderang tanpa sekat tanpa penghalang. Indah, sempurna, tanpa cela.  Saya membayangkan kalau naik pada kala matahari di tengah siang hari. Pasti akan terpanggang. 

Meskipun para pendaki ini tak bisa sampai puncak, lumayan lah kelelahannya bisa terbayar dengan berpose untuk mengabadikan gaya dengan berlatar indahnya alam Pulau Padar. Hasilnya bisa di-share di media sosial. Keren!!!

Seperti yang saya katakan saya adalah seorang pelaku meditasi kesehatan. Itu sangat menolong saya untuk mendaki puncak-puncak bukit di Pulau Padar. Ya, memang jauh bedanya kondisi tubuh saya ketika muda belia dulu dengan sekarang. Namun, saya bersyukur pada usia yang oversex ( over seket-lebih dari lima puluh tahun) ini saya bisa sampai di bukit tertinggi Pulau Padar. 

Saat saya sampai  di 3/4 puncak bukit padar ini , panorama menakjubkan sudah menjadi milik yang berhasil berjuang mendaki bukit, yaitu saya. Woooow, mempesona!!!! Perlu diketahui bahwa mendaki ¾ itu memerlukan energi yang yang luar biasa dengan menguras keringat sampai kotos-kotos.

Ketika tiba di ¾ pendakian, saya kira sudah sampai puncak karena terlihat dari bawah itu puncaknya. Namun, penglihatan saya salah. Di belakang puncak yang menjulang itu masih ada buntutnya si pulau yang puncaknya tak  semenjulang yang terlihat tadi. Tadinya saya hampir menyerah untuk mendaki sampai ke titik puncak paling ujung, tetapi terpikir lagi oleh diri saya, ‘ kagok amat, tinggal sedikit lagi, masa segitu aja gak bisa’

Untungnya, saya bersama teman saya Ibu Margareth yang seorang atlet karateka dengan ban hitam. Akhirmya kami bisa mencapai penuh Bukit Padar. Tentu saja kami juga pelan-pelan melakukannya karena jalan yang berkerikil dan berpasir membuat licin kala diinjak. Belum lagi kalau melihat ke belakang atu ke sebelah kiri-kanan yang curam membuat nyut-nyutan dan singunen (takut melihat ke bawah). 

(puncak Padar, doc.pribadi)

Dan......, wooooow! Pemandangan di atas Bukit Padar begitu tak terkatakan. Bukit-bukit menjulang di sana sini, warna cokelat mendominasi, diselingi warna kekuningan,  putihnya pasir pantai, hijaunya lautan, didominasi warna biru. Semuanya terhampar di hadapan kami. Untuk mennsyukuri semua itu kami berdua sepakat untuk berdoa dan bernyanyi lagu syukur. 

Di bawah payung merah muda bernuansa keperakan, kami bagaikan pasangan lesbian bergandengan tangan, memanjatkan doa dan pujian. Doa saya yang memimpin. kami berdoa untuk almarhun Pak Hendrikus (suami Bu Margareth), untuk kedua putrinya Cindy dan Sherly, untuk Bob (suami saya), Metta, Aga, dan Abhimanyu, ketiga buah hati saya,  juga untuk kami berdua Margareth dan Enung.  Tak lupa untuk Tanah Air Indonesia. Lantas kami menyanyikan lagu ‘ surya bersinar udara segar terima kasih, di tepi pantai ombak berderai terima kasih.....,’     Saya yang cengeng dibarengi dengan tangisan.  


(puncak, Bukit Padar, doc. pribadi)

Di puncak Bukit Padar kuseru nama-Mu ya Bapa hingga membahana sampai di nubariku terdalam. Terima kasih untuk keindahan ini! Aku bangga pada diriku bisa mendaki hingga ke ujung demi melihat karya-Mu yang besar!

(Christina Enung Martina, Bukit Padar, Laboan Bajo, 26 Mei 2017)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar