Lama tidak menulis di blog tersayang ini. Ada banyak kegiatan yang menyita waktu sehingga tak sempat duduk untuk mengungkapkan aneka hal dalam tulisan. Empat hari tiga malam berada di pertapaan “Panti Samadhi” Sukabumi (12 November 2009-15 November 2009). Waktu yang cukup lama untuk diam, merenung, melihat apa yang sudah terjadi setahun dalam hidupku. Mendata berkat yang kuterima dan mensyukurinya begitu rupa. Mengorek luka yang agak infeksi dan membersihkannya dari sisa nanah dan kotoran agar luka itu cepat mengering dan sembuh seperti sediakala meski pasti akan meninggalkan carut. Carut itu akan menjadi kenangan bahwa aku pernah punya luka. Dari carut itu pula aku belajar untuk berhati-hati melalui hidup.
Namun, sungguh semua yang manis, pahit, pedas, asam, juga asin, serta aneka rasa hidup yang kujalani menjadikanku kaya begitu rupa. Aku begitu mensyukurinya. Aku melihat bahwa Tuhan begitu mencintaiku untuk membiarkan aku mengalami aneka macam peristiwa dalam hidupku. DIA mempercayaiku untuk aku bisa mengalaminya, menikmatinya, menghayatinya, menganalisisnya, dan memutuskan langkah yang terbaik dalam hidup. Dan yang paling penting dari semua itu adalah mensyukurinya.
O, Tuhan begitu banyak hal yang kualami selama setahun ini. Ada tawa, ada air mata, dan juga ada saat yang membuat aku diam dan berpikir serta merenungkan apa yang terjadi dalam hidupku. Takjub karena itu semua terjadi padaku. Terlena dalam keasyikan yang membuatku ada dalam kedaan terhipnotis dan tersihir. Ketika kita tersadar begitu jauh kita berjalan mungkin hampir sesat.
Untungnya selalu ada Malaikat Pelidung yang menjaga kita dan mengingatkan kita untuk selalu setia pada tujuan hidup semula. Meski terkadang Malaikat Pelindung suka agak telat sepertinya menurut ukuran kacamata manusia. Tapi ukuran waktu Tuhan segalanya pas, tepat pada waktunya, sesuai rancangan dan kehendak-Nya.
Bila aku berpikir menurut sudut pandangku sendiri yang egois ternyata aku ini suka membawa kehendak sendiri. Orang Sunda mengatakan mawa karep sorangan. Sering lupa kalau aku ini ada bersama orang lain. Karena aku sedang asyik, lupa bahwa mungkin yang aku senangi, yang membahagiakanku, atau yang menurutku baik, ternyata bisa menjadi batu sandungan bagi orang lain. Itulah manusia yang serba kedagingan.
Namun, dari semua hal yang egois itu aku tetap mendapat pelajaran yang sangat berarti. Pelajaran tentang cinta akan hidup, persahabatan, kesetiaan, kemauan untuk berbagi, ketaatan, dan aneka nilai lain. Dari semua nilai itu yang paling besar adalah pelajaran tentang cinta. Aku benar-benar merasa dicintai. Rasanya hidupku penuh karenanya.
Mencintai diri sendiri dengan peduli terhadap kesehatan. Tak membiarkan diri sendiri kelelahan, tertekan, juga sakit fisik, atau mental. Berusaha menyeimbangkan semua dengan baik. Karena diriku adalah saluran kasih Allah. Karena itu, kalau aku tidak memperhatikan diriku artinya aku tidak peduli pada orang lain. Prinsipnya tubuh adalah Bait Allah. Mencintai diriku berarti juga mencintai orrang-orang yang kucintai, terlebih Tuhan.
Mencintai orang lain itu adalah yang kedua yang rill bisa kualami. Orang lain itu banyak sekali, dimulai dari pasangan hidup yang dengan segala kekurangan dan kelebihannya aku cintai dan mencintaiku dengan apa adaku. Berikutnya adalah buah hati yang untuk itulah aku berjuang sehingga jelas arah tujuan hidupku. Karena merekalah hidupku terasa lebih bermakna. Untuk para sahabat dan teman-teman yang dengan cinta mereka menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk ada pada saat aku terpuruk. Mereka adalah malaikat-malaikat yang tak bersayap yang ada kala aku membutuhkan bantuan. Selanjutnya adalah orang tuaku yang tak setiap saat bisa aku temuai. Meski jauh dorongannya dan doanya sangat terasa. tanpa mereka aku tak akan hidup di dunia ini. Saudara-saudara kandung yang menyemarakkan juga hidupku dengan perasaan bahwa aku pernah tinggal dalam perut yang sama. Saudara-saudara sepupu atau saudara jauh serta para keponakan. Juga mereka menjadi penyemarak hidupku. Demikian pula para murid yang tiap hari aku berjumpa dengan mereka. Dengan keremajaan mereka mengajarkanku untuk terus mempunyai semangat muda. Berkat mereka aku tak pernah merasa tua. Bahkan orang-orang yang sudah tiada, sudah berpulang pada keabadian, para pinisepuh serta para leluhur yang juga menjadi bagian dalam hidupku. Karena cinta mereka aku bisa berdiri hingga sekarang. Selain itu, orang-orang yang kita temui baik langsung atau tak langsung yang tak punya hubungan khusus atau status apa pun dalam hidupku. Mereka juga berperan untuk membuat aku ada.
Akhirnya aku juga mencintai semesta ini yang tercipta untukku. Aku ada di dalamnya. Aku berdegup bersamanya. Sadar atau pun tidak aku terikat kepadanya.
Dan akhirnya yang paling besar dari semua itu adalah pada DIA, Sang Pencipta, sumber dari segala sesuatu. DIA memberikan cinta yang tak bersayarat untukku. Aku memberikan cinta pada DIA yang hanya setetes air di samudra yang maha luas. Tak berarti. Kepada DIA-lah tujuan hidupku dan sumber hidupku.
Begitulah empat hari tiga malam aku bergumul dalam retretku. Waktu yang tersedia untuk sejenak rehat dari kesibukanku memperpanjang nafasku dan memperpanjang nyawaku. Syukur untuk waktu khusus ini. Syukur karena aku memiliki waktu itu karena aku tahu banyak orang tak mempunyai kesempatan itu. Aku mendapatkannya gratis. Aku mendapatkan lebih daripada yang aku harapkan.
Bila aku mengeluh dalam perjalananku, bila aku bertemu kepahitan dalam perjuanganku, semuanya seolah menguap dalam rasa syukurku. Rasa sakit, keluhan, dan luka yang kualami itu hanya bumbu yang menyedapkan hidupku. Itu adalah bagian yang memang harus ada dalam hidupku agar semuanya sempurna adanya. Terimakasih Bapa, Terima kasih Yesus, terima kasih Roh Kudus. Aku mabuk dalam rasa syukur.
(Sedang bersermangat karena baru di charge selama retret di Sukabumi. Semoga sinyalnya kuat terus sepanjang tahun.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar