Selesai kami bereksplorasi di Cinque
Terre, kami melanjutkan napak tilas kami menuju ke Brescia untuk menginap di rumah
Ursulin. Perjalanan ke Brescia ditempuh sekitar 2,5 jam dengan jarak dari Cinque
Terre 215 Km. Di Brescia kami dibagi dalam dua rombongan penginapan karena
ketersediaan tempat yang tidak memunginkan. Penginapan pertama bertempat di
Compagnia di S. Orsula (CSU) yang beralamat di Via Martinegro da Barco 4.
Penginapan kedua di Convitto Vescoville S. Giorgio, via S. Galilei 67. Kedua
lokasi tersebut 35 menit berjalan kaki (kalau jalannya / gangnya benar: karena
teman saya menempuhnya dalam waktu 60 menit).
Brescia merupakan
salah satu kota penting dalam napak tilas kami. Bagi
orang Italia, Brescia sering hanya dianggap sebagai daerah industri yang penuh
polusi. Di sana memang terdapat pusat industri besi dan baja. Di balik wajah
kerasnya, berdasarkan pendataan beberapa tahun lalu, kota kecil Brescia yang
hanya memiliki 89.979 rumah, ternyata menyimpan keanggunan tersendiri. Kota
Brescia terletak di Wilayah Lombardia, Italia bagian utara. Masih bertetangga
dengan kota Milan, berjarak 88 km dan dengan Bergamo (48 km).
salah satu sudut Brescia
Nama “Brescia” sendiri konon diadopsi dari kosa kata kuno
yang artinya “bukit”. Stadion Mario Rigamonti adalah salah satu landmark paling terkenal di
Brescia. Digambarkan kaya akan karakter sejarah, di pelosok Brescia
-terutama di puncak perbukitan, berdirilah kastil-kastil yang anggun. Bagi
penggemar sepak bola ada stadion yang menjadi tiang sejarah kota Brescia dan
menjadi stadion kandang Brescia Calcio yang memiliki sejuta kisah yang jauh dari perihal
prestasi. Klub sepak bola Brescia eksis di antara dua seting yang bertolak
belakang intelektual dan pekerja pabrik. Tak mengherankan jika tifosi Brescia
berasal dari dua kalangan yang mendominasi kota: pekerja pabrik dan kaum
intelektual. Kota ini cukup berbangga memiliki klub seperti Brescia
Calcio, meski prestasinya ibarat langit dan bumi kalau dibandingkan dengan
tetangganya AC Milan dan Internazionale Milan. Brescia juga telah
melahirkan pemain bintang Italia Andrea Pirlo, serta pernah diperkuat Josep
Guardiola dan striker Rumania Gheorghe Hagi. Brescia pernah menjadi juara Piala
Anglo-Italia tahun 1994, yang menjadi pencapaian terbesar mereka dalam
sejarah. Namun, Brescia baru terlihat kiprah besarnya pada tahun 2000,
ketika berhasil mendaratkan pemain terbaik dunia FIFA, Roberto Baggio.
Brescia bagi perjalanan karya Angela merupakan kota yang
penting. Pada tahun 1516 di kota ini Santa Angela di ditugaskan Ordo
Fransiskan, tempat ia bergabung, untuk melayani
di Brescia. Pembunuhan besar-besaran atas penduduk Brescia oleh tentara
Prancis yang terjadi sekitar tahun 1512 masih segar dalam ingatan orang banyak.
Brescia serta seluruh Italia bagian utara masih dalam keadaan kacau dan tidak
aman. Selama 4 tahun sejak 1512, Brescia terus menerus berpindah-pindah dari
tangan negara penakluk satu ke tangan negara penakluk yang lain.
Kerusakan akibat peperangan yang berlarut-larut sangat
menyedihkan hati Santa Angela Merici pada kala itu. Kerisauan dan perasaan
belas kasihan pada Brescia sangat mendalam dirasakan oleh Angela. Hal ini
terutama karena kemerosotan moral yang terjadi di Brescia. Bagi angela,
penduduk Brescia yang makin lama makin tenggelam dalam penderitaan itu,
memerlukan pengertian, cinta, pengorbanan, pengabdian, dan doanya. Dengan mata
iman, beliau melihat bahwa kedatangannya ke Brescia akan semakin membawanya
kepada pemenuhan kehendak Tuhan.
Patung Santa Angela
Saat Angela bertugas di kota ini, terdapat banyak anggota
Divino Amore (perkumpulan relawan) yang membantu para korban perang. Selain
itu, di Brescia banyak juga bangsawan
yang cerdik pandai. Salah satu keluarga bangsawan ini adalah keluarga Patengola
tempat Angela tinggal di Brescia. Keluarga ini memiliki hubungan yang baik
dengan para Fransiskan. Dalam waktu yang singkat Angela berkenalan dengan para
pemimpin rohani kota Brescia seperti Girolamo Patingola, Agostino Gallo, dan
Antonio Romano. Pada saat itu di Italia belum ada emansipasi wanita. Karena itu
persahabatan dengan para pemimpin itu memberikan perlindungan dan bantuan bagi
Angela. Di Brescia Angela membantu dengan menghibur, memberi nasihat, melayani
korban perang, dan mendoakan orang-orang yang memerlukannya.
Khabar tentang kesucian Angela sudah tersiar di seluruh
Brescia. Karena itu banyak orang dari seluruh lapisan masyarakat datang untuk
minta nasihat atau didoakan. Dengan tangan terbuka Angela menyambut mereka di
kamarnya yang kecil. Dilayaninya setiap orang dengan penuh kesabaran dan
perhatian. Angela menghargai dan menghormati setiap orang yang datang kepadanya.
Kesemuanya itu dilakukan Angela karena imannya yang teguh dan persatuannya yang
erat dengan Tuhan. Tuhan adalah poros kehidupannya, dari Tuhanlah ia menimba
segala inspirasi, kebijaksanaan, cinta, kekuatan, kegembiraan, harapan, dan
penghiburan yang kemudian diteruskannya kepada mereka yang membutuhkan.
rumah di Brescia
Brescia mempunyai kesan tersendiri bagi saya. Ketika saya
bermalam selama 4 malam dan minum s airnya serta menikmati kelezatan
makanannya, kota ini nyaman, indah,
teratur, bersih, dan penduduknya ramah. Kawan saya ibu Astuti mengatakan bahwa
ia bersedia untuk tinggal di Brescia karena kotanya nyaman dan banyak orang
bersosialisasi duduk di kafe atau bsekedar omong-omong.
Saya tidur menginap di Compagnia di S. Orsula (CSU) yang
beralamat di Via Martinegro da Barco 4. Rumah itu merupakan rumah Ursulin yang
didapatkan dari hibah Elisabeth Girelli. Bangunan kuno yang sangat besar.
Kesannya tua dan tak terurus. Namun, begitu masuk dan tidur di dalamnya akan
terasa kehangatan dan kenyamanannya. Saya merasa seperti rumah Ursulin di
Sukabumi. Selama berada di rumah ini, saya dan Ibu Lina, teman sekamar saya,
tidur pulas hingga pagi menjelang.
beranda Compagnia di S. Orsula
Yang paling berkesaan di rumah ini adalah makananannya
yang lezat dan selalu dalam keadaan hangat dan segar. Para suster di rumah ini
sangat ramah, terutama Suster Fullbia. Sepertinya orang bernama Fullbia memamng
slelalu gembira dan ceria. Dua orang Fullbia yang saya temukan kesannya sama:
periang! Meskipun suster di sini tak bisa berbahasa Inggris, tetapi tak
mengurangi keakraban kami. Dengan bahasa Inggris bercampur aduk dengan bahasa
Itali yang saya pungut di sana, serta bahasa tubuh, jadilah kami berkomunikasi
sangat seru. Untung kalau ada Suster Littah yang jadi penyambung lidah. Pergo!
Pergo! Bono! Bono! begitulah kata-kata yang sering kami ungkapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar