File:Sacro Monte di
Varallo-Cappella I-Il peccato originale
Ketelanjangan Asali (Original Nakedness)
Kejadian 2:25: …Mereka, keduanya telanjang, manusia dan istrinya itu, tapi tidak merasa malu”.
Berbicara
tentang ketelanjangan asali menghubungkan dengan topik Teologi Tubuh yang diungkapkan
oleh Paus Yohanes Paulus II. Gagasan teologi tubuh lahir
dari audensi Paus setiap hari Rabu dari tanggal 5 September 1979 – 28 Nopember
1984. Yohanes Paulus II mengajak kita untuk kembali merefleksikan makna
memiliki tubuh. Beliau menyerukan kepada dunia agar memaknai kembali secara
benar arti tubuh dan seksualitas yang dimiliki manusia. Gagasan ini terkait
erat dengan situasi dan kondisi zaman saat itu dan juga saat ini yang
menggiring mayoritas manusia untuk menjadikan tubuh dan seksualitas sebagai
sarana untuk memuaskan keinginan daging, bukan untuk menghayati kebebasan
sejati manusia sebagai citra Allah.
Dua konsep
kunci pada ayat di atas yang
direfleksikan Yohanes Paulus II yakni telanjang dan tidak
merasa malu. Meskipun dalam keadaan telanjang manusia pertama tidak
merasa malu satu terhadap yang lain. Sikap ini tumbuh karena satu sama lain
melihat tubuh mereka sebagai subjek yang harus dihargai. Bahwa dalam keadaan ini setiap pribadi
memberikan diri dalam cinta dengan penuh kejujuran.
Ketelanjangan
adalah situasi yang memungkinkan manusia melihat tubuh sebagai sesuatu yang
suci dan murni. Inilah yang terjadi pada manusia pertama bahwa meskipun mereka
telanjang, mereka tidak merasa malu. Dalam bahasa Yohanes Paulus II
ketelanjangan tersebut adalah sebuah perayaan kemanusiaan yang pertama.
Dalam ketelanjangan nilai tubuh dirayakan secara agung dan ilahiah.
Tubuh yang
telanjang punya arti asali dan mendasar yakni panggilan untuk saling mencintai.
Tak adanya rasa malu sebenarnya menunjukkan kepenuhan dan kematangan mereka
sebagai pribadi; memperlihatkan juga kemurnian hati dan cinta mereka yang tidak
saling melihat diri sebagai objek untuk digunakan, melainkan sebagai anugerah. Adam
dan Hawa saling melihat diri mereka dengan ‘mata Tuhan’ yang melihat segala
sesuatu baik adanya.
Jika kita melihat
struktur tubuh manusia sudah terdapat semacam cetak biru/blue print relasi. Tegak berdiri, tangan membentang dari luar ke
dalam untuk merangkul dan memeluk, mata di bagian atas untuk melihat dengan
jangkauan /dimensi yang luas, dua telinga untuk mendengarkan, mulut yang siap
berbicara yang baik, dan struktur bibir untuk tersenyum. Ketelanjangan
susah dipahami di luar konteks relasi cinta manusia yang satu dengan manusia
yang lain.
Ketika saya
memandikan ketiga anak saya kala mereka kecil, mereka tidak malu karena mereka mengerti saat dimandikan ibu, yakni ada ada
kepercayaan penuh bahwa mereka tidak pernah dijadikan obyek tapi dicintai dan
diterima tanpa syarat. Mereka mempercayai saya sebagai ibunya.
Asal Muasal Rasa Malu
Dengan kebebasannya,
manusia bisa mencintai sekaligus menolak Allah pada saat yang sama. Tuhan
sedemikian mencintai manusia hingga memberikannya kebebasan seperti itu.
Jatuhnya Adam-Hawa dalam dosa tidak lepas dari kebebasan yang dimiliki keduaya.
Mereka memilih untuk melanggar dan menolak Allah dengan makan buah terlarang.
Mereka tidak menghendaki Allah campur tangan dalam hidupnya. Pilihan inilah
yang akhirnya membuat dia serta merta bersembunyi ketika Tuhan datang.
“Aku takut dan bersembunyi karena aku telanjang”, demikian kata Adam ketika mendengar Tuhan mendatanginya. Karena pilihan inilah Adam tidak lagi melihat dirinya sebagai partner atau rekan Allah, tetapi lebih sebagai objek dari Allah. Ia mulai takut, khawatir kalau-kalau Tuhan akan menghukumnya. Ia mulai melihat dirinya sebagai objek yang siap dikuasai. Dan pada saat yang sama pula ia mulai melihat Hawa sebagai objek yang bisa digunakan.
Yohanes Paulus dalam Theology of Body dengan sangat mengagumkan menulis:
“Kata-kata dalam Kejadian
3:10 (Aku takut karena aku telanjang, dan aku bersembunyi) langsng menunjukkan
perubahan radikal tentang arti ketelanjangan asali. Ketelanjangan yang pada
mulanya berarti positif sebagai pengungkapkan penuh penerimaan akan tubuh dan
seluruh pribadi manusia sekarang berubah menjadi negatif yakni menjadi nafsu.”
Akibat nafsu itulah manusia menjadi malu (shame) dengan dirinya dan tubuhnya
sendiri, dan mulai melihat tubuh yang lain sebagai objek pemuasan kebutuhan
seksualnya. Nafsu birahi yang menyatu dengan rasa malu dan menjadi impuls atau
dorongan untuk menguasai yang lain sebagai obyek, bukan lagi sebagai partner
dan pribadi yang diterima dan dicintai secara penuh. Di pihak lain, rasa malu
juga mengandung hal positif yakni kebutuhan untuk self-protection , tidak
dilihat dan digunakan orang lain sebagai objek.
Tubuh adalah sarana pengungkapan kehadiran manusia yang paling nyata dan
konkret. Melalui tubuhnya seseorang menyatakan kepada sesama tujuan, arti dan
makna hidupnya di dunia. Boleh dikatakan bahwa tubuh adalah sebuah komunikasi/
pengungkapan diri yang paling mudah dibaca. Dengan demikian memahami tubuh
berarti secara perlahan masuk dalam inti diriku sebagai pribadi dan juga orang
lain. Saya bisa mengenal orang lain dan juga diriku sendiri melalui
pengungkapan tubuh. Seluruh kedirian seseorang menjadi nyata melalui tubuhnya.
Ajakan Paus Yohanes Paulus II kepada anak muda untuk mencintai tubuhnya
adalah agar manusia menghargai dirinya sebagai pribadi yang dicintai Allah.
Allah yang telah menciptakan manusia dengan seluruh diri-Nya dan kebaikan-Nya
itu perlu disadari oleh siapa pun agar bangga terhadap tubuhnya itu karena
tubuh adalah Bait Allah.
(Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar