Jumat Agung mengikuti Ibadat
Penghormatan Salib di Gereja Santo Ambrosius, Vila Melati Mas. Sejak pukul
13.00 hari mendung dan disempurnakan dengan gerimis yang mengundang rasa yang
biru. Berangkat 1 jam sebelumnya, tetapi sudah tak mendapat tempat incaran:
kursi di dalam ruangan yang nyaman dengan angin cepoy-cepoy (AC). Eh, ternyata
kami tidak beransib mujur. Ruangan dalam gereja atau pun aula sudah penuh tak
ada tempat. Akhirnya duduk di bangku bakso di selesar atas dengan panorama samping
Gereja HKBP. Lumayanlah ada angin yang semilir dan ada jemaat HKBP yang hilir
mudik di jalan mereka. Sehingga kami sering bertatapan dengan saudara satu iman
dalam Kristus, tetapi berbeda gedung ibadat itu. Namun, kami tetap satu dalam
Kristus.
Meski duduk kami sekeluarga
terpencar, tetapi tak menghilangkan kekhidmatan mengikuti prosesi ini. Sejam
menunggu untuk masuk dalam prosesi bukan waktu yang singkat. Terutama untuk
anak berusia 5 tahun yang duduk 10 menit saja merupakan perjuangan. Ibu cerdas tak
kalah akal, bawalah kertas bekas sebanyak mungkin, bawa sidol, pinsil warna,
gunting, dan seperangkat kartu boboboi. Semua orang menanti, si bocah
superaktif duduk delosor di bawah kursi asyik menggambar aneka karekter dari
zombi hingga robot. Saat prosesi akan dimulai, si bocah sudah bosan dengan
aktivitasnya. Dia mulai bertanya : Sudah mau pulang kita, Bu? Waduh, baru akan
mulai, Nak. Dia mulai resah dan mengeluh: Aku pegal ni. Mataku gatal ni. Dan
aneka keluhan lain. Dia mulai bersandar ke pundak, mata mulai sayu. wah
pertanda.... kantuk tiba. Begitu prosesi doa pembukaan mulai dia sudah duduk
manis dengan mata terpejam. Akhirnya keadaan memaksa sang ibu untuk duduk menyedikan pangkuan
untuk bantal si bocah. Sepanjang prosesi sabda yang panjang dalam pasio yang
indah dia tertidur. Sabda digelar, kantuk pun datang. Sang ibu harus
mempertahankan posisi duduk agar buah hati bisa nyaman tidur. Prosesi sabda
selesai, tiba prosesi cium salib. Untunglah si bocah sudah bangun. Dengan segar
dia sudah siap mengalami pengalaman mencium Kaki Yesus.
Malam tiba. Hidung masih mampet,
dada terasa sesak, tulang iga terasa sakit, dan kepala pusing, tetapi kantuk
tak kunjung datang. Teringat sebuah kutipan film Sun Go Kong: kalau mau tidur
berdoa saja. Maka jadilah saya duduk manis di kursi dengan posisi meditasi Zen
Qi Sirkulasi, duduk tegak tanpa bersandar, tangan terkatup di pangkuan, lidah
menyentuh langit-langi dengan lafal L, kemudian mingkem. Meditasi diawali
dengan doa Aku Percaya, dan dilanjutkan dengan merafalkan Bapak Kami secara
lambat dan perlahan.
Semenit, lima menit, 15 menit.
Mulai terasa reaksi badan hangat, dada terasa sesak, punggung pegal dan hangat,
kepala terasa pening. Sensasi ini berlanjut hingga 15 menit kemudian. Pada
menit ke-30 lebih mulailah . Dalam setiap meditasi ini, saya biasanya tak
pernah ada ujud doa tertentu. Pada meditasi malam kali ini pun tidak.
BTW, sekedar memberitahu, saya
belajar meditasi ini berawal dengan tujuan untuk menjaga stamina tubuh agar
tetap bugar. Namun, dalam perjalanan latihan ternyata sampai pada yang
agak-agak spiritual. saya juga tidak mengerti kok bisa begitu. Tadinya saya
mengikuti Bob, suami saya yang mengikuti pelatihan meditasi ini secara intensif
dengan suhu yang handal tentunya. Lama lama saya menjalankan latihan ini dan
‘nagih’.
Pada menit ke-30 menit lebih ini
biasanya saya sudah mengalami sensasi yang tak akan sama pada setiap meditasi.
Mediatasi kali ini mula-mula saya mengingat peristiwa Prosesi Jumat Agung yang
sore tadi saya ikuti sperti cerita di atas. Namun, lama-lama lokasi jadi
berpindah menjadi ke lokasi di Israel sana yang pernah saya kunjungi tahun 2007
silam. Dalam visual itu saya melihat jalan yang dilaluinya adalah lorong-lorong
pasar yang menuju Bukit Golgota. Lalu muncul salah satu adegan film Passion of The Christ yaitu saat Yesus
disesah dengan cambuk dengan seluruh bilur luka di punggungnya yang
mengeluarkan tetesan darah tak terhingga sehingga seluruh punggung rembes
dengan darah segar yang terus menetes. Lantai tempat Dia disesah belepotan
dengan darah dan pecut yang dipakai menyesah menyisakan cabikan kulit dan goresean
daging yang terobek. Adegan film itu begitu hidup saya lihat. Dengan sendirinya
saya menangis. Prosesi terus berjalan mengikuti adegan menuju puncak bukit
temapat yang dipilih untuk menyalibkan-Nya. Lantas saya teringat saya berlutut
di bukit itu di bawah reflika kayu salib yang posisinya di tengah yang diapit
oleh dua salib lain di kiri kanannya. Kala itu saya hanya bisa menangis dan tak
sepatah kata pun doa keluar dari mulut saya. saya hanya merasa sangat tak layak
dan merasa sangat dikasihi. Itu saja perasaan saya. Lantas saya teringat saya
turun ke gua yang berfungsi sebagai amkam tempat menguburkan tubuh-Nya. Saya
amsih ingat betapa panjang antrian ke gua itu. Tiba giliran saya untuk amsuk ke
dalam gua itu. Di sana ada seorang penjaga bertubuh tinggi besar dengan muka
brewokan dan jauh dari ramah. Jubahnya yang berwarna coklat kehitaman menyentuh
lantai. Saya menduga mungkin dia biarawan Fransiskan. Dengan tegas ia mengatur semua peziarah
mengantri untuk masuk ke bilik tempat tubuh dibaringkan. Saya masuk ke bilik
itu dan melihat ada segulung kain kafan terumbruk di situ sebagai reflika
adegan bahwa tubuh-Nya sudah bangkit. Sama di gua ini pun saya tak bisa berdoa apa-apa
karena ada keharuan yang memuncak pada diri saya. Ketika saya berlutut dan
mendekatkan bibir saya ke reflika kain kafan yang dilapisi kaca itu, saya hanya
berucap lirih ‘terima kasih’.
Begitu kejadian itu berputar
dalam ingatan saya. Lantas dalam meditasi ini otak waras saya bertanya jadi
mengapa Dia melakukan itu semua? Meski saya tahu jawabannya karena sudah
didoktrin oleh guru agama dan juga cerita dari Kitab Suci. Namun, pengetahuan
sebatas otak saja tidak cukup kalau
belum sampai ke hati. Saya melanjutkan pertanyaan itu. Dan muncullah suatu
jawaban yang sama dengan pengetahuan otak selama ini: karena Cinta yang besar.
Lantas bergerak lagi kata-kata itu dan saya melihat bahwa cinta itu adalah
energi yang super besar yang tidak merusak atau menghanguskan, tetapi
kebalikannya menghidupkan dan menumbuhkan. Lantas visual saya melompat ke
pemandangan ada poros saeperti roda bermesin yang bergerak melingkar mulai
pelan makin lama makin cepat, cepat, dan sangat cepat hingga gerakannya tak
lagi nampak. Roda itu tak pernah berhenti berputar, tetapi tak seorang pun
menyadarinya. Itulah putaran energi cinta-Nya yang tak terlihat, tak terasa,
tetapi ada dan tak pernah berhenti. Lantas saya melihat peta hidup
saya. saya melihat saat saya sekolah dengan segala perjuangan saya dan kerja
keras orang tua. Saya melihat energi cinta mereka pada saya begitu besar
sehingga menumbuhkan semangat saya untuk belajar dan menghidupkan pula energi
cinta dalam diri saya untuk mencintai mereka dan keluarga dan ingin ikut membahagiakan
mereka dengan belajar yang baik hingga saya berhasil. Energi cinta itu membuat
saya tak pantang menyerah dalam perjuangan kala saya sekolah mulai dari SMP
negri di kota kecamatan kecil, Panawangan, kemudian berlanjut energi cinta itu
membawa saya ke SPG Santa Angela Bandung, dan kemudian mendamparkan saya
skuliah di Kota Gudeg. Pada setiap etape pendidikan say energi cinta itu
tersebar melalui orang-orang yang membentu saya, teman, saudara, ibu kost, para
pendidik, para suster pembimbing, Yayasan Salib Suci yang memberi beasiswa
kepada saya, Pastor Gandhi OSC (kakak sepupu saya yang sekaligus guardian angel saya), Pastor Rojakers
OSC, penyalur dana dari OSC, dan banyak lagi orang-orang yang menjadi saluran
energi cinta Tuhan untuk saya.
Saya melanjutkan permenungan saya
ke dalam dunia perkawinan saya yang sekarang sudah berumur 27 tahun ini. Saya
melihat begitu banyak suka duka yang dilalui bersama pasangan. saya melihat
energi cinta yang membuat saya mampu melaluiberbagai peristiwa, tantangan, rintangan
dalam rumah tangga saya. Energi cinta itu yang membuat saya bisa berjuang untuk
pendidikan anak-anak saya. Energi cinta yang besar yang membuat semuanya terasa
membuat saya takjub tak berkesudahan atas eajaiban yang dibuat-Nya dalam hidup
saya.
Permenungan itu terus berlanjut
dengan 3 buah hati yang dikaruniakan kepada saya. Saya melihat mereka bertumbuh
dalam energi cinta yang mengelilingi mereka. Dengan energi cinta mereka
bertumbuh, berjuang, berusaha, belajar, dan mendapat beberapa keberhasilan dalam
hidup mereka yang besar ataupun yang kecil. Semuanya karena ada energi cinta
pada mereka dan juga pada kami orang tuanya juga orang-orang di sekitar mereka
yang mempunyai kehendak baik.
Ketika saya melihat bahwa saya
masih sering mengkuatirkan hal-hal yang belum terjadi, sebenarnya itu kesia-siaan. Energi cinta cukup
untuk membuat saya tidak perlu kuatir. Energi cinta menjadi suatu garansi akan
janji Tuhan kepada saya. Energi cinta menjadi bukti bukan hanya sekedar janji
para politikus dalam kampanye mereka. Energi cinta itu bersumber dari Sang
Cinta itu sendiri yang rela mennumpahkan darah-Nya untuk saya dan semua manusia
serta seluruh jagat raya ini demi tercapai kedamaian di dunia dan hati setiap
orang. Sang Cinta yang tangan-Nya terentang antara langit dan bumi. Kurang apa
lagi?
(Ch. Enung Martina,
Sabtu Suci, 26 Maret 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar