Rabu, 07 Juni 2017

PERJALANAN LABUAN BAJO 7

Suku Bajo




Hari sudah  menunjukkan pukul 13.30. Kami kembali dari Pulau Kanawa karena ada kabar bahwa kami harus kembali ke Labuan Bajo karena pukul 17.00 akan ada perayaan ekaristi di kapel susteran. Segeralah kami bergegas  kembali ke kapal. Para awak Kajoma Eco kembali sibuk melayani kami setelah beberapa jenak istirahat selama kami berada di Pulau Kanawa.

Kembali kami bercengkrama di atas kapal. Bernyanyi dan bercanda. namun, suasana agak sendu karena kami akan berpisah dari para awak kapal Kajoma Eco.

Kapal merapat di Pelabuhan Labuan Bajo. Kami berpamitan pada para crew kapal. Rasanya selama 2 hari bersama mereka sudah layaknya seperti saudara saja. Kami makan, mengobrol, bernyanyi, berjoget, dan tertawa bersama. Kini kami akan meninggalkan mereka, para lelaki Bajo yang hebat. Lelaki yang mencinti lautan dengan air, riak, angin, dan birunya. Para lelaki Bajo yang mencintai pulau-pulau gersang dengan warna kuning kecoklatan yang eksotis. Lelaki bajo yang memberikan hidupnya di atara perbukitan dan lautan.

Mereka adalah pemilik lautan dan pulau-pulau. Mereka adalah pewaris sah dari tanah yang elok ini. Mereka adalah para pejuang yang tak kenal lelah memberikan jasa pelayanan kepada para turis yang ingin mencicipi indahnya alam mereka.

Kita tahu ternyata suku Bajo menyebar tidak hanya di Manggarai ini. Tentang Suku bajo atau Suku Sama, mereka tersebar di banyak tempat di Indonesia. Juga diberbagai negara termasuk Thailand, Malaysia, dan Filiphina. Meski demikian, bahasa yang digunakan tetap sama, bahasa Bajo Mereka di kenal sebagai suku yang hidup dari laut. Melaut merupakan pekerjaan yang dijalani hampir seluruh masyarakat Suku Bajo. 

Soal pendidikan, di Suku Bajo kurang mendapat perhatian. Anak-anak lebih senang terjun mencari ikan daripada sekolah. Kesadaran orang tuanya akan pentingnya pendidikan pun masih minim.

Di Pulau Flores, suku ini terpusat di Pulau Babi. Selain itu di Pulau Pemana, Parmaan, Sukun dan bisa dijumpai hampir di setiap pesisir pantai utara hingga Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

Di beberapa tempat di di Flores Timur, kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya dengan Bajo, yang berarti mendayung, alat pendayung perahu. Watan artinya pantai, atau keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu, artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan.

Ada dua versi sejarah suku Bajo, pertama ada yang berpendapat dari Johor, tapi ada juga yang mengatakan berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan. Nampaknya bahasa yang digunakan  ada kemiripan dengan bahasa Tagalog, Filipina. Karena itu  sering orang beranggapan bahwa suku bangsa ini tanah asalnya Kepulauan Sulu, Filipina Selatan.  Suku ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga disebut gipsi laut.



Suku Bajau menggunakan bahasa Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar. Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh kepulauan Indonesia (terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar. Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar mulai tinggal menetap dan berbaur dengan suku-suku lain.

Suku Bajo lahir dan hidup di laut sehingga punya ketangguhan mengarungi lautan. Meski kini banyak yang tinggal di darat, ketergantuangan terhadap laut belum hilang. Banyak dari mereka yang masih berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat Bajo kadang dianggap bajak laut dan perusak, padahal mereka memiliki kearifan dalam mengelola ekosistem laut.

Suku bajo ini memang  suku yang tidak begitu banyak dikenal, karena keberadaan mereka bisa dibilang cukup langka, dan belum banyak terjamah oleh pemerintah Indonesia. Berbeda halnya dengan suku Makassar, Bugis, atau Mandar, yang cukup dikenal oleh masyarakat sebagai raja lautan.  Suku Bajo yang pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Padahal,  mereka memiliki ketangguhan dan keterampilan dalam mengarungi samudera.

Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi seluruh warga Bajo. Bukan suku Bajo kalau tidak beragama Islam dan telah diwariskan turun-temurun. Meski ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara penduduk Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang taat sholat lima waktu dan berpegang tegung pada keyakinan yang diwariskan kepada mereka sejak nenek-moyangnya.

Suku Bajo juga terkenal sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga kerukunan bersama. Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, sosial dan budaya karena persatuan dan kesatuan yang dibangun di antara mereka.

Selama 2 hari kami bersama dengan orang-orang Suku Bajo. Baru kali ini saya bersentuhan dan berkomunikasi langsung dengan orang Bajo. Saya mengenal mereka sebagai orang yang terbuka, ramah, pekerja keras, juga  melayani para tamu dengan baik. Mereka orang-orang lugas. Mereka juga orang-orang yang taat beragama.

 (Christina Enung Martina, Labuan Bajo, 27 Mei 2017)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar