Kamis, 12 Desember 2019

Tamu dari Baduy Dalam


TAMU PADA MINGGU KE-3 ADVENT


Masa Advent bagi orang Keristen merupakan masa penantian sebelum perayaan Natal tiba. Kata Advent sendiri berasal dari bahasa latin Adventus yang berarti kedatangan. Tujuan itu berupa persiapan untuk menyongsong Pesta Natal tanggal 25 Desember dan perwujudan masa penantian kedatangan Yesus Kristus yang kedua sebagai Hakim Akhir Jaman. Kedua arti yang dimaksudkan di atas ini diketahui berdasarkan catatan-catan historis dalam gereja abad IV. Dan kemudian dipertegaskan dan dipertahankan kembali dalam Konsili Vatikan II yang pada saat itu melakukan pembaharuan liturgi.

Ada sebuah pengalaman yang unik berkaitan dengan minggu Advent ketiga tahun 2019 ini.  Cerita dimulai dari persahabatan saya dengan pemandu jalan ketika saya ke Baduy tahun 2005. Nama pemandu ini adalah Jasrip. Ia salah satu orang Baduy  Dalam yang membantu para wisatawan yang akan berkunjung ke Baduy. 




Kala itu saya ke Baduy bersama anak-anak SMA St. Ursula BSD. Ada 3 pemandu kami, 2 dari Baduy  Luar dan yang seorang dari Suku Baduy Dalam. 

Singkat cerita akhirnya saya menjalin ‘duduluran’ - persaudaraan dengan Jasrip. Bukan hanya teman atau sahabat, tetapi saudara. Setiap 1 tahun atau 2 tahun sekali Jasrip mengunjungi beberapa orang di Jakarta dan Tangerang. Saya salah satu yang dikunjunginya. Biasanya dia akan mengakhiri kunjungannya di rumah saya sebelum balik ke Baduy Dalam. Karena rumah saya paling dekat dengan jaln pulangnya dia ke arah Serpong, Parung Panjang dst, dengan berjalan kaki menyusuri jalan raya dan jalan setapak atau jalan kecil sebagai jalan pintasnya. 

Seringnya Jasrip berkelana tidak sendirian. Dia akan membawa 2 atau 3 orang kawan.  Dari Jasriplah persaudaraan saya dengan orang Baduy Dalam bertambah. Setiap kali mampir ke rumah kami, dia akan membawa 2 atau 3 orang temannya.

Saya sangat senang ketika para sadulur Baduy Dalam mengunjungi saya. Saya merasa terhormat karena mereka memilih untuk menginap di rumah saya. 




Sudah lima tahun terakhir ini para sadulur Baduy Dalam tidak berkunjung ke rumah saya. Sering saya nantikan kedatangan mereka yang tiba-tiba. Ujug-ujug datang di pintu pagar dan berkata : ‘Sampurasun!!! ” itu adalah suatu moment yang membuat hati saya terasa hangat sampai ke tulang sunmsum saya. Saya merasa saudara purba saya datang ke rumah saya. Tanpa kabar tanpa berita mereka datang. Karena mereka tak punya alat komunikasi. Bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena itu pilihan mereka untuk tak menggunakan benda-benda modern yang kita dewa-dewakan, bahkan menjadi berhala modern.



Nah, pada tahun ini Desember 2019, tanggal 10 Desember, pukul 09.13 pagi, mereka ujug-ujug datang di pintu pagar kami. Saya jelas sudah ada di sekolah. Yang ada di rumah adalah Bob, suami saya dan Aga, anak kedua saya. Aga belum belum berangkat kerja. Jadilah kabar kedatangan para sadulur Baduy saya terima di sekolah.

Akhirnya setelah lima tahun tak ada kunjungan dari para sadulur, sekarang lima orang datang di rumah saya. Jasrip, Sangsang, dan 3 orang remaja generasi penerus mereka yaitu Narja (anak Aldi), Karnadi (anak Jasrip), dan Nadi (anak Sangsang).

Kedatangan mereka membawa kegembiraan pada kami sekeluarga yang sudah lama menantikan kunjungan mereka.  Obrolan pun bergulir dari topik cuaca, keadaan keluarga, perjalanan, hingga alasan 5 tahun tidak berkunjung. Rupanya karena kesibukan di ladang mereka dan juga karena situasi politik negri yang membuat mereka tidak nyaman untuk bereprgian ke Jakarta. Meski mereka bukan orang-orang penakut dengan hal-hal yang akan menimpa mereka. Mereka adalah orang-orang pemberani untuk melintasi hutan, ladang, desa, dan kota untuk berjalan dengan kaki mereka tanpa alas kaki. Demi orang-orang yang mereka anggap sadulur mereka turun gunung dengan berjalan kaki. Jarak jauh mereka tempuh dengan berjalan kaki karena itu adalah ziarah mereka di dunia: untuk tetap patuh pada adat leluhur yang sudah menjadi takdir mereka.




Urang Kanekes - Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang lebih, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Itu adalah sebuah pilihan yang tidak mudah untuk zaman modern seperti sekarang.

Suku Baduy Dalam atau Urang Kanekes Jero memang mempunyai peraturan dalam adat mereka Antara lain:
ü Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
ü Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
ü Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
ü Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
ü Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

Peraturan tersebut ditrunakn dari generasi ke generasi.  Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam.




Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes.



Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung). Berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Namun, berbeda dengan Narja, remaja berusia 21 tahun ini, ia menggunakan smart phone. Hal ini karena Narja yang sering tinggal dengan saudaranya di Baduy Luar unuk mencari nafkah. Jadi diijinkan untuk memaki HP ketika berada di luar Baduy Dalam. Tapi dia tidak boleh memakainya saat dia berada di Baduy Dalam. 


Jasrip, Aldi, dn Sangsang 


Begitulah sedikit tentang para sadulur dari Baduy. Bagi saya, kehadiran mereka ke rumah kami seolah membuka buku hidup tentang kisah mereka yang mungkin belum ada yang menceritakannya secara lengkap.

Selama saya bergaul denagn mereka, mereka adalah orang yang lugu, jujur, berani, teguh dalam pendirian, patuh pada peraturan adat, dan pekerja keras.  Di mana pun mereka berada peraturan adat selalu mereka patuhi. Namun, sisi lain, mereka adalah orang-orang yang bersahabat dan mau belajar. Meski tak ada kebiasaan untuk belajar di sekolah, beberapa orang Baduy bisa baca tulis dengan belajar otodidak. Narja, salah satunya. 




Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis. Begitulah sedikit gambaran tentang mereka.

Saya merasa terhormat bisa mengenal mereka dengan segala keunikan mereka. Setiap kali mereka berkunjung, teman dan tetangga juga menjadi tertarik dengan mereka. Bahkan, Pak Bob, suami saya, pernah ada yang menyangka ngelmu ke Banten karena rumah kami sering didatangi orang Bduy Dalam. 




Pada bulan Desember ini yang sudah mulai sejuk karena sering hujan, membawa suasana tersendiri. Keadaan  yang dipengaruhi cuaca ini membawa suasana yang syahdu bagi saya. Mungkin juga karena menjelang Perayaan Natal. Ditambah lagi dengan kedatangan tamu yang dikirim Raja semesta Alam ke rumah kami. Tamu itu datang pada minggu ketiga Advent. Karena saya orang Sunda kedatangan tamu merupakan suatu hal yang penting. Bagi orang Sunda KEDATANGAN TAMU kerumah MENDATANGKAN KARUNIA YANG BANYAK ke dalam  rumah dan penghuninya.  Seorang tamu yang datang mengunjungi seseorang, membawa rezeki untuk orang tersebut dari Tuhan. Ibu saya di kampung, paling senang dan gembira menerima tamu.



Terima kasih Jasrip, Sangsang, Narja, Nadi, dan Karnadi telah menjadi tamu saya pada minggu ke-3 Advent. Kedatangan kalian membawa sukacita bagi kami sekeluarga. (Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar