Pagoda setinggi 9 lantai membawa imajinasi ke film Sun Go
Kong, kisah legenda Kera Sakti dari China. Pagoda ini merupakan Vihara
Buddhayana, sebuah tempat beribadah bagi Umat Budha. Suatu hal unik ditemukan,
di tempat yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen ada sebuah vihara yang
megah. Keberadaan Vihara ini menggambarkan kerukunan antar umat beragama di
Kota Tomohon.
Kami tiba di tempat ini pada saat hari masih pagi. Sejuknya
Kota Bunga Tomohon menambah semarak pagi itu. Sepanjang perjalanan kami
disuguhi dengan panorama alam yang indah dan asri.
Di hadapan kami berdiri megah dan anggun Vihara Buddhayana yang sering disebut juga
Pagoda Ekayana. Dari kompleks ini kita bisa melihat pemandangan Gunung Lokon. Om
Boy menjelaskan bahwa Kota Tomohon memiliki empat buah gunung, dua di antaranya
masih aktif, yaitu Gunung Lokon dan Gunung Mahawu. Gunung Lokon adalah gunung
tertinggi di Kota Tomohon dengan ketinggian 1580 mdpl. Selain panorama gunung,
hamparan hijau tanaman dan bunga-bunga juga melengkapi keindahan vihara ini.
Memasuki gerbang vihara, kami disambut dengan jejeran 18
patung Lohan atau Arhats, yaitu pengikut “delapan belas jalan” Buddha. Mereka
adalah Pindola, Nantimitolo, Pantha the Elder, Angida, Asita, Rahula, Nagasena,
Gobaka, Pantha the Younger, Fajraputra, Nakula, Bodhidarma, Vanavasa, Kanaka
The Bharadavaja, Katika, The Vatsa, Nandimitra, dan Pindola the Bharadvaja.
Begitu tulisan yang saya baca dari setiap patung yang ada di sana.
Penjelasannya panjang. Kalau saya jelaskan nanti jadi pelajaran Agama Budha.
Nampaknya pengurus vihara memelihara seluruh bangunan dengan
sangat baik. Mereka memahami bahwa selain untuk tempat ibadah, Vihara
Buddhayana juga merupakan salah satu daya tarik pariwisata Kota Tomohon. Para
wisatawan yang datang bisa menikmati
keindahan arsitektur seluruh bagian vihara dengan tetap menghormati keberadaan
Vihara Buddhayana sebagai tempat ibadah.
Pengunjung diperbolehkan untuk memasuki beberapa ruangan.
Saya memasuki 3 bangunan yang setiap ruangan tersebut menampilkan keindahan
arsitektur Cina yang nenawan. Setiap ruangan yang saya masuki terasa hawanya
adem, mak nyus. Selain karena udara sekitarnya sejuk, juga karena itu tempat
berdoa sehingga menimbulkan aura doa. Setiap masuk ruangan saya berdoa sesuai
denan iman saya. Saya beranggapan bahwa ketika masuk di tempat doa, ya
pantaslah kalau kita berdoa.
Ketika memasuki bangunan pagoda utama yang bertingkat 9 itu,
saya sangat terkesan. Pengunjung diperbolehkan menaiki setiap tingkatnya. Saya
menaikinya hingga ke tingkat 9. Perlu dicatat tidak ada eskalator atau lift
untuk menaiki tangga-tangga itu. Ya, rada ngos-ngosan juga pada usia oversek
seperti ini. Bukan masalah capenya, tetapi kepalanya yang mumet lihat ke bawah,
apa lagi saya fobia ketinggian. Namun, saya berperinsip kalau saya masih bisa
saya harus mencobanya karena pasti ada makna yang saya dapatkan ketika
melakukan itu. Pada tingkat ke-9, saya terpana melihat panorama dari
ketinggian. Gunung Lokon yang menjulang dengan hamparan biru kehijauan di
bawahnya. Luar biasa indahnya.
Saat berada di tingkat terakhir ini saya jadi ingat Legenda
Ular Putih yang saya tonton beberapa puluh tahun lalu. Bai Su Zhen (Pai Su
Chen) yang diperankan Angie Chiu, berusaha menaiki Menara Petir yang bertingkat
sembilan untuk memenuhi persyaratan agar terjadi keseimbangan di dunia yang
selama ini terjadi bencana (tidak seimbang) karena ulahnya menikah denagn
manusia yang bernama Xu Xian (Shi Han Wen). Sambil tenguk-tenguk melihat keindahan
alam dari tingkat 9 menara ini, saya membayangkan Mbak Pai Su Chen yang ayu
itu.
Setelah puas menikmati keindahan dari puncak menara, saya
turun. Di bawah saya lebih jeli memperhatikan deretan 18 patung yang saya sebut
di atas. Ketika diperhatikan ada sesuatu yang menurut saya aneh. Semua patung
dalam ruangan vihara itu patung berwajah Tionghoa, tetapi 18 patung di luar
wajahnya bukan wajah China. Itulah keunukannya, patung-patung Budha tadi berwajah India. Patung Bodhidharma tersebut
mengambarkan Buddha dengan jenggot yang sebenarnya khas India, bukan China.
Saya juga memasuki bangunan lain di samping pagoda, yaitu Istana
Kwam Im. Di sini, bisa melakukan ramalan kuno Ciam Si. Ciam Si merupakan
ramalan yang berdasarkan syair-syair kuno China. Beberapa batang bambu seperti
sumpit lebar diletakkan dalam wadah bambu bulat. Masing-masing batang bambu
berisikan nomor. Wadah bambu kemudian dikocok hingga mengeluarkan satu
batang bambu. Dari nomor yang tertera di batang bambu, tinggal mencocokannya
dengan kotak yang berada di sisi kiri dinding. Nah, di kotak tersebut kertas
berisikan ramalan. Ramalan tertera dalam kanji-kanji khas tulisan China. Tetapi
ada terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Saya tidak melakukan ritual meramal ini.
Bagi saya itu tidak penting. Saya lebih tertarik pada keindahan arsitektur
bangunan dan patung-patungnya.
Bagi yang suka ramal-meramal, masih bisa melanjutkan ramalannya di bangunan samping Istana Kwan Im. Kita bisa berjalan terus ke belakang vihara. Di sini kita bisa berkenalan dengan kodok yang membawa koin, simbol dari keberuntungan. Di depan patung kodok raksasa terdapat kolam air. Di tengah kolam tersebut terdapat lonceng. Pengunjung dipersilahkan melempar koin ke lonceng. Jika lonceng terkena koin, konon doanya akan terkabul. Terdengar mudah? Nyatanya, terdapat replika koin China, koin kuno yang memiliki lubang di tengah, menghalangi lonceng ini. Koin replica raksasa tersebut berputar-putar mengelilingi lonceng. Sementara lonceng berada di tengah-tengah lubang koin. Di tepi kolam terdapat 5 bagian, yaitu “Bahagia”, “Harta”, “Panjang Umur”, “Kedudukan atau Pangkat”, dan “Keberuntungan”. Pengunjung tinggal mengambil posisi sesuai permohonan yang dinginkan, lalu lempar koin ke arah lonceng. O, ya beberap teman berhasil, salah satunya Mama Tua: Ibu Maria!!!!
Begitulah perjalanan kami ke Pagoda nan menjulang itu! (Ch. Enung Martina)
https://www.youtube.com/watch?v=pT5bA6W1DJE