Sabtu, 16 Desember 2017

KECEWA KARENA TOKOH IDOLA


Pernahkan Anda merasa bahwa kekaguman pada seseorang yang selama ini diidolakan makin hari makin memudar?  Ada kenyataan bahwa orang yang kita idolakan makin ketahuan kelemahannya. Ada perasaan kecewa dan  tercelikkan  bahwa  idola pun manusia yang ternyata memang manusiawi bila itu tak sempurna. Namun, hal itu tetap saja membuat membuat hati kecewa. Ada harapan yang tak terpenuhi dari idola saya yang sebenarnya itu adalah harapan pada diri saya. Karena saya tak punya hal tersebut saya mengidolakannya karena saya merasa mereka mempunyai apa yang tak saya punyai. Eh, ternyata saya tahu bahwa idola saya pun sama dengan saya. Bahkan, ternyata lebih lemah dari saya. 

Hari Jumat, 15 Desember 2017, saya mengalami hal yang membuat saya merasa tokoh yang saya harapkan buah pikirannya hebat seperti yang saya bayangkan, ternyata tidak sesuai dengan bayangan saya. Tokoh ini sebetulnya bukan idola utama saya. Hanya dari sekian orang yang saya temui, dia adalah orang yang pemikiriannya saya kagumi. Karyanya juga nyata ada.  Saya membayangkan buah pikirnya dia akan mendalam dan memperteguh apa yang saya jalani sebagai panggilan hidup saya yaitu menjadi pendidik. 

Namun, harapan saya dari buah pikirnya yang saya bayangkan akan mendalam, reflektif, dan impementatif bagi para guru, khususnya saya. Ternyata harapan tinggal sebuah bayangan yang memudar. Saya dibantingkan pada kenyataan ternyata buah pikir yang saya idamkan ternyata tak sehebat dalam bayangan saya. 

Ketika saya pulang ke rumah dan melihat kembali buku yang terdiri dari 39 halaman ini harapan saya tentang buah pikir yang mendalam, reflektif, dan implementatif tersebut tetap tak terpenuhi. Saya merasa ada yang kurang pas pada diri  saya. Ada apa dengan saya? 

Saat anak perempuan saya pulang dari kantornya, kami punya kebiasaan mengobrol sekitar  setengah jam untuk bercerita ini itu. Saya pun menceritakan kekecewaan saya itu. Lantas Metta mengatakan bahhwa itu adalah kelekatan. Metta mengatakan dalam ajaran Budha kesedihan dan kekecewaan yang saya alami itu karena adanya kemelakatan. Memang betul. Saya merasa lekat pada tokoh yamg saya idolakan. Saya tidak objektif  memandang tokoh idola saya. Saya memimpikan tokoh idola harus sesuai dengan gambaran saya.  Tokoh idola harus memnuhi apa yang tidak bisa saya penuhi. 

Rupanya saya masih melekat pada apa yang saya imajinasikan. Saya tidak hidup dalam kenyataan saya. saya hidup dalam angan-angan saya tentang sesuatu yang ideal. Saya berangan-angan tokoh idola saya harus dalam pemikirannya. Saya menginginkan pikiran yang tidak ecek-ecek dan dangkal dari tokoh saya. Saya menginginkan tokoh saya itu bisa menunjukkan refleksinya seperti apa yang selama ini minta dari saya, dari kami para guru. Saya menginginkan tokoh saya ini memberi contoh untuk berpikiran dalam, tidak cetek, tidak dangkal seperti yang dia selalu gembor-gemborkan kepada kami. Saya rupanya menginginkan ada model yang memebri contoh konkrit. Tidak omong doang. 

Rupanya saya ini bosan dengan omong doang. Di mana-mana yang saya lihat hanya omong doang. Orang berbicara tentang ini itu, banyak yang sebatas wacana.  Orang berbicara tentang aneka ide yang ada dalam pikirannya, hanya sebatas wacana, sebatas ide, kalau tak ada pembuktian yang nyata. Saya ini tipe Thomas Didimus yang selalu minta bukti nyata. 

Saya sekarang jadi tahu, kenapa saya kecewa dengan tokoh saya yang saya mengharapkan buku yang ditulisnya itu berbobot, mendalam, reflketif, dan implementatif. Rupanya karena selama ini tokoh yang saya harapkan ini sering kali hanya omong. Kenyataan yang dia lakuakan sering kali melanggar dengan apa yang dia ajarkan dan dia tuntut dari orang lain. 

Saya sekarang melihat tokoh ini adalah yang sangat lekat dengan kekuasaan, penghormatan, nama baik, harga diri, dan aneka hal yang sifatnya sangat manusiawi dan duniawi. Meski saya tahu bahwa tokoh saya ini seorang biarawati. Saya tahu mengapa saya kecewa dengan tokoh ini. Saya melihat dia bukan tokoh yang integral antara omongan dengan tindakannya. 

Saya merasa kecewa karena untuk meneerbitkan buku ini betapa banyak energi yang dikeluarkan. betap-a banyak korban perasaan dan korban hati karena terluka. Saya tahu karena saya mendengar curhat teman yang diperlakukan begitu tak layaknya dalam pekerjaannya. Begitu banyak energi kemarahan yang digunakan oleh tokoh ini untuk meraih apa yang dia inginkan.

Lantas saya bertanya: Apakah harus energi kemarahan selalu digunakan untuk meraih sebuah project  atau kegiatan atau apa pun namanya. Apakah tak ada cara lain dengan energi relasi yang asertif, relasi yang bermartabat, relasi yang menempatkan orang lain juga terhormat,  relasi yang setara anatara kedua belah pihak? Apakah tidak lelah menggunakan energi kemarahan terus-menerus? Saya yang melihatnya saja capek! Saya atau orang lain yang terkena dampaknya terluka  dan mengeristal. Bila orang yang suka menumpuk sampah pada hatinya, lama-lama keadaan ini bisa membawa penyakit. 

Apakah mengibarkan nama itu begitu penting bagi tokoh saya ini? Apakah jati diri seseorang itu harus tercepai dengan mengibarkan nama yang melibatkan orang lain dengan energi kemarahan? Apakah semuanya tidak cukup? Apakah masih kurang kekuasaan, penghormatan, pemujaan, kepatuhan dari tiap orang yang menjadi bawahanmu? Apakah tokoh ini tidak merasa bahwa begitu banyak parasait yang memanfaatkan dia dengan cara menjilat-jilatnya dan memuja-mujinya? Apakah dia tak menyadari begitu banyak hati yang terluka karena kemarahan yang dilakukannya?

Saya tidak tahu. Namun, saya merasa begitu banyak hal yang membuat saya kecewa sekaligus saya kasihan. Saya kasihan kepada tokoh saya ini karena usia semakin renta dan fisik semakin lemah. Seiring itu ketajaman pikiran pun makin menurun. Strategi yang selama ini digunakan makin nampak bahwa itu sebuah strategi yang tidak sampai mendasar. Strategi itu sebagai strategi majikan buruh yang terbentuk karena ada manfaat. Bila tak ada uang maka bos ditinggalkan. Bila tak dapat uang bos boleh diabaikan. Apakah tokoh saya ini tak sadar bahwa begitu banyak orang yang mennipunya  demi tujuan egois mereka? 

Dalam kekecewaan saya, saya hanya bisa berdoa dengan tulus untuk dia tokoh idola saya yang sekaligus juga tokoh yang membuat saya melihat diri saya  untuk bercermin.  Segala  upaya yang dia telah lakuakn untuk saya banyak manfaatnya. namun, banyak cara juga yang terkadang membuat saya merenungkannya untuk sebuah relasi dan untuk sebuah kebebasan untuk tidak melekat pada nama baik, kekuasaan, penghormatan, dan puji-puja. Karena segala kuasa, keagungan, kebesaran, dan puji-puja hanya milik DIA semata yang mencipta segala. 
(Ch. Enung Martina)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar