Minggu, 22 Juli 2018

Tak Ada yang Sama, Semuanya Berubah



Kembali mengajar setelah libur lama tentunya mempunyai situasinya tersendiri. Apalagi sebelum liburan, tepatnya di pengujung tahun pelajaran 2018-2019, goro-goro terjadi. Goro-goro ini menyangkut pribadi saya secara khusus dan secara umum pengajar SMP. Luar biasaaaaah!!!!

Hal ini mempengaruhi perasaan dan hati saya. Meskipun begitu, ternyata saya mampu melaluinya dengan elegan.

Ada beberapa orang berbicara dan berbisik secara pribadi tentang persitiwa tragis akhir tahun tersebut. Ada banyak pesan japri melalui WA.  Isi dari semua yang berbisik secara pribadi pada umumnya berbicara tentang pendapat dan pengalaman mereka berkaitan dengan kejadian tersebut. Juga menyampaikan penguatan kepada saya.

Akhirnya saya menjadi mendapat kejelasan tentang banyak hal yang dialami oleh beberapa teman menyangkut hal ini. Saya merasa semakin dikuatkan bahwa nurani saya yang beberapa waktu yang lalu saya sangkal ternyata memang benar. Penyangkalannya membuat saya melintir sakit perut karena asam lambung saya naik. Tubuh memang tak bisa dibohongi.

Serta merta saya mempunyai pandangan tentang setiap orang yang saya temui dalam komunitas saya di tempat saya bekerja. Berbagai macam pribadi saya jumpai. Saat tertentu penilaian saya terhadap seorang pribadi bisa saja berubah pada kala lain. Semua tergantung pada sentuhan pengalaman pribadi saya dengan pribadi orang tersebut.

Saya mengalami perubahan relasi dengan seorang pribadi yang awalnya kualitas relasi saya biasa-biasa saja. Namun, dalam perkembangannya menjadi tidak biasa saja karena ternyata pribadi itu adalah adik kandung dari teman seangkatan saya di perguruan tinggi. Saya baru tahu saat liburan panjang ini. Ketika saya tahu, saya makin akrab. Yang dahulu memanggil saya formal dengan sebutan Ibu Nung, sekarang dia memanggil saya Ua Nung (untuk memberikan contoh pada anaknya cara memanggil saya). Panggilan Ua menandakan panggilan kekeluargaan dalam silsilah keluarga Sunda. Artinya sama dengan budhe, mama tua, tante. Pribadi itu menganggap saya bukan lagi sekedar hubungan selewat, tetapi menganggap saya kakak perempuannya.

Kebalikannya, ada hubungan yang dahulu kualitasnya sangat tinggi, sekarang menjadi biasa saja. Saya awalnya mengagumi teman saya yang sangat komit dan total dalam bekerja. Kinerjanya luar biasa. Datang pagi pulang petang. Pokoknya saya mengagumi komitmen dia dalam bekerja. Saya mah tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dia dalam hal kinerja. Namun, kekaguman saya bisa berubah menjadi menyangsikan karena totalitas yang dia lakukan ternyata untuk melarikan diri dari tanggung jawab utamanya sebagai seorang ibu. Ternyata nilai-nilai pribadinya sangat dangkal berkaitan dengan kejujuran, daya juang, dan pendidikan anak. Ternyata teman yang saya kagumi tersebut seorang yang penakut, suka melarikan diri, integritasnya rendah kalau berkaitan dengan harga dirinya. Ternyata dia seorang penakut dan gengsinya sangat tinggi. Demi gengsinya dia bersedia mengorbankan orang lain. Ternyata dia seorang yang suka menihilkan kebaikan orang lain dan meniadakan jasa orang lain demi mencari pembenaran sendiri. Ternyata dia bisa menggunakan cara ‘melankolis’ untuk mengancam atasan agar semua keinginannya tercapai. Ternyata orang ini sangat tidak mempunyai belas kasih terhadap siapa pun. Ternyata dia tak mempunyai rasa penyesalan sedikit pun akan apa yang dia sudah lakukan terhadap orang lain. Ternyata Selama bekerja dia hanya mengejar nama baik untuk mengibarkan namanya tanpa  mempedulikan bahwa ada orang lain yang dikorbankan, bahkan anak kandungnya. Selama ini sama sekali tak kelihatan. Yang nampak dia adalah pribadi yang disiplin, setia, pekerja keras, rapi, sempurna, teliti, tak pernah salah, dan sangat bertanggung jawab. 

Rupanya itu semua kamuflase. Segala yang saya kagumi dari sosok ini, dalam seketika musnah tak berbekas. Saya hanya melihat dengan mata nanar dan berkata: O, rupanya dia seperti itu. Apakah tersisa rasa benci pada pribadi ini? Awalnya saya melihat sepertinya saya membenci dia. Namun, ketika saya mengkonfirmasi hati saya dalam meditasi, ternyata saya tidak membencinya. Namun, saya kecewa karena harapan saya tidak terpenuhi pada pribadi ini. Bayangan yang semula muluk-muluk terhadap pribadi ini, ternyata plekenyi  tak terjadi. Harapan saya pribadi, teman saya ini akan memiliki integritas tinggi: nyambung antara omongannya yang sangat edukatif dan penuh nilai hidup dengan tindakannya. Ternyata harapan saya tidak terpenuhi. Pribadi ini rupanya rapuh tak sekuat yang saya bayangkan. Ya, benar, saya kecewa karena horizon harapan saya tak terpenuhi dari pribadi yang selama ini saya kagumi.

Saya merasa jengkel menuju pada kasihan. Akhirnya lama-lama dengan berjalannya waktu dan proses rekonsiliasi pada diri saya,  perasaan saya flat,  datar saja, netral tak ada perasaan yang mendominasi pada dia. Hanya diri saya memutuskan untuk tidak terlalu intens berhubungan dengan dia. Ada semacam ‘ warning’ untuk menjaga jarak, untuk hanya seperlunya saja. Karena tak ada faedahnya.

Itulah kekaguman pada tokoh manusia terkadang mengecewakan. Dengan bertambahnya kesadaran dan kemampuan saya mencerna peristiwa, maka saya melihat pribadi ini dengan sangat netral. Saya tetap berkomunikasi dengan dia. Menyapa, tersenyum, bercanda sekadar yang diperlukan sesuai situasinya.

Beberpa teman bertanya apakah pribadi ini sempat berbicara dan meminta maaf pada saya untuk goro-goro di akhir tahun pelajaran? Saya mengatakan tidak pernah. Bagi saya itu pun tak penting. Hal ini malah menguatkan penilaian saya akan pribadi ini. Jadi, saya berda di jalur yang benar untuk melihat segalanya netral dan objektif. Dalam kehidupan semuanya tak abadi. Semuanya berubah, tak ada yang sama. Hanya iman, harapan, dan kasih yang mampu mencerna semua yang terjadi. Dan lebih daripada itu, kasihlah di atas segala-galanya. (Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar