Kamis, 26 September 2019

ARTIKEL AKHIR TAHUN


HIKMAT PERLAHAN TERKIKIS MENJADI SUAM-SUAM KUKU




“Aku, hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan kebijaksanaan.” (Amsal 8 : 12).

INI adalah kasus yang sulit—dua wanita memperebutkan seorang bayi. Keduanya tinggal serumah, dan keduanya melahirkan seorang putra, hanya selisih beberapa hari. Salah satu bayi meninggal, dan sekarang, masing-masing mengaku sebagai ibu dari bayi yang masih hidup. Tidak ada saksi lain dalam peristiwa itu. Tampaknya, kasus tersebut sudah diperiksa di pengadilan yang lebih rendah tetapi tidak terselesaikan. Akhirnya, perbantahan tersebut dibawa ke hadapan Salomo, raja Israel. Sanggupkah ia menyingkapkan kebenaran?



Setelah beberapa waktu mendengarkan perbantahan mereka, Salomo meminta sebuah pedang. Kemudian, dengan raut muka bersungguh-sungguh, ia memerintahkan agar anak itu dibelah, dan masing-masing wanita mendapat setengah bagian. Seketika itu juga, ibu yang asli memohon kepada sang raja untuk memberikan bayi itu—anaknya yang tersayang—kepada wanita lainnya. Tetapi, wanita lainnya itu tetap berkeras agar anak tersebut dibelah. Kini, Salomo tahu yang sebenarnya. Ia mempunyai pengetahuan tentang keibaan hati yang lembut seorang ibu terhadap anak kandungnya, dan ia menggunakan pengetahuan tersebut untuk membereskan perbantahan itu. Bayangkan betapa leganya sang ibu ketika Salomo menyerahkan sang bayi kepadanya dan berkata, ”Dialah ibunya.”—1 Raja 3:16-27.

Hikmat yang luar biasa, bukan? Sewaktu orang-orang mendengar  bagaimana Salomo menyelesaikan kasus tersebut, mereka sangat kagum, ”sebab mereka melihat bahwa hikmat Allah ada dalam dirinya”. Ya, hikmat Salomo adalah pemberian Allah. Bapa telah memberinya ”hati yang bijaksana dan berpengertian”. (1 Raja 3:12, 28

Namun, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga dapat menerima hikmat ilahi? Ya, karena di bawah ilham, Salomo menulis, ”Allah sendiri memberikan hikmat.” (Amsal 2:6) Allah berjanji untuk memberikan hikmat—kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan, pengertian, dan pemahaman dengan baik—kepada mereka yang berupaya mencarinya dengan tulus.

Allah bersedia membagikan hikmat-Nya kepada kita tidak soal latar belakang dan pendidikan kita. (1 Korintus 1:26-29) Namun, kita harus mengambil inisiatif, karena Alkitab mendesak kita untuk ’mendapatkan hikmat’. (Amsal 4:7)



Cara mendapatkan hikmat: Pertama-tama, kita perlu takut akan Allah. ”Takut akan Allah  adalah permulaan hikmat [”langkah pertama menuju hikmat” Takut akan Allah berarti, bukan meringkuk di hadapan-Nya karena perasaan ngeri, melainkan membungkuk di hadapan-Nya karena perasaan hormat, respek, dan percaya. Rasa takut demikian adalah takut yang sehat dan sangat memotivasi. Rasa takut tersebut menggerakkan kita untuk menyelaraskan kehidupan kita dengan pengetahuan tentang kehendak dan jalan-jalan Allah. Tidak ada lagi haluan yang lebih berhikmat yang dapat kita tempuh karena standar-standar Allah selalu menghasilkan manfaat terbaik bagi mereka yang mematuhinya.


Kedua, kita harus rendah hati dan bersahaja. Hikmat ilahi tidak akan ada tanpa kerendahan hati dan kesahajaan. (Amsal 11:2) Apabila kita rendah hati dan bersahaja, kita mau  mengakui bahwa kita tidak tahu segala-galanya, bahwa pendapat kita tidak selalu benar, dan bahwa kita perlu mengetahui pikiran Yehuwa berkenaan dengan berbagai hal. Allah ”menentang orang yang angkuh”, tetapi Ia senang memberikan hikmat kepada mereka yang rendah hati.—Yakobus 4:6.

Hal ketiga yang sangat penting adalah mempelajari Firman Allah yang tertulis. Hikmat Allah disingkapkan dalam Firman-Nya. Untuk mendapatkan hikmat tersebut, kita harus mengerahkan upaya untuk menggalinya. (Amsal 2:1-5)

Abuna Hendra

Tuntutan keempat adalah doa. Jika kita dengan tulus meminta hikmat kepada Allah, Ia akan memberikannya dengan murah hati. (Yakobus 1:5) Doa-doa kita untuk meminta bantuan roh-Nya tidak akan dibiarkan tak terjawab. Dan, roh-Nya memungkinkan kita menemukan harta dalam Firman-Nya yang dapat membantu kita memecahkan berbagai masalah, menghindari bahaya, dan membuat keputusan yang bijaksana.—Lukas 11:13.

Begitulah memperoleh hikmat. Apakah mudah? Wah, tentu tidak Ferguso! Tantangannya seabreg. Apalagi hidup di zaman sekarang. Berbicara tentang hikmat, yang juga dikenal sebagai kebijaksanaan, begitu penting dalam kehidupan manusia. Tanpa hikmat dalam kehidupan, seseorang bisa salah jalan. Tidak mengherankan, apabila setiap manusia selalu ingin memiliki hikmat dan kebijaksanaan dalam kehidupannya. Bahkan, tidak jarang mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkan hikmat dan kebijaksanaan itu.

Banyak yang berpikir bahwa hikmat dan kebijaksanaan itu dapat mereka beli dan miliki dengan jalan belajar sampai tingkat tertinggi dan di tempat yang hebat, sehingga mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, dan berusaha mendapatkan nilai akademis tertinggi.


Memang, tidak salah seseorang belajar sampai setinggi-tingginya. Namun, yang harus kita pahami adalah kemampuan akademis, atau kemampuan intelektual, tidaklah identik dengan hikmat. Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang memiliki hikmat. Lihat saja kasus-kasus yang ada di negeri ini, orang-orang yang dianggap berhasil dalam meraih pendidikannya banyak juga yang gagal ketika diberi kepercayaan untuk memimpin sekelompok masyarakat.

Ada yang berpikir bahwa hikmat dan kebijaksanaan seseorang dinilai dari usia seseorang, dari kedudukannya dalam masyarakat, dari kedudukannya di sebuah kantor/lembaga, atau dari kedudukannya sebagai pimpinan agama, atau dari banyaknya gelar akademis yang disandangnya. Namun, ternyata tidak demikian. Semua hal itu tidak menjamin seseorang berhikmat.



Bahkan, kita tahu dan belajar dari Raja Salomo yang digambarkan di atas tentang bagaimana dia berhikmat. Ternyata kalau hikmat yang dimilikinya pada akhirnya akan terkikis kalau tidak dipelihara, dirawat, dan diperdalam. Kita mengetahui bahwa di antara orang-orang yang pada awalnya berjalan dengan Tuhan dengan segenap hati namun kemudian menyimpang dari-Nya, dengan mengizinkan dosa masuk ke dalam hatinya, mungkin tidak ada contoh yang berbunyi lebih nyaring daripada Salomo. Tiga kitab dalam Alkitab Perjanjian Lama ditulis olehnya, dan ini saja mungkin sudah cukup menunjukkan betapa berapi-apinya orang ini bagi Tuhan pada awalnya.

Hikmat yang Allah karuniakan kepada Salomo benar-benar luar biasa. Sebagaimana kita baca dalam 1 Raja-raja 4:29-30, 34: “Dan Allah memberikan kepada Salomo hikmat dan pengertian yang amat besar, serta akal yang luas seperti dataran pasir di tepi laut, sehingga hikmat Salomo melebihi hikmat segala bani Timur dan melebihi segala hikmat orang Mesir…….Maka datanglah orang dari segala bangsa mendengarkan hikmat Salomo, dan ia menerima upeti dari semua raja-raja di bumi, yang telah mendengar tentang hikmatnya itu.” Dan, sebagaimana I Raja-raja 3:3 katakan kepada kita: “Dan Salomo menunjukkan kasihnya kepada TUHAN dengan hidup menurut ketetapan-ketetapan Daud, ayahnya”.



Namun, apa lacur? Ternyata si babang tamvan Salomo ini begitu mencintai banyak perempuan asing. Di samping anak Firaun ia mencintai perempuan-perempuan Moab, Amon, Edom, Sidon dan Het.Salomo  mempunyai tujuh ratus isteri dari kaum bangsawan dan tiga ratus gundik; isteri-isterinya itu menarik hatinya dari pada TUHAN. Sebab pada waktu Salomo sudah tua, isteri-isterinya itu mencondongkan hatinya kepada allah-allah lain, sehingga ia tidak dengan sepenuh hati berpaut kepada TUHAN, Allahnya, seperti Daud, ayahnya. Demikianlah Salomo mengikuti Asytoret, dewi orang Sidon, dan mengikuti Milkom, dewa kejijikan sembahan orang Amon, dan Salomo melakukan apa yang jahat di mata TUHAN.

Ada satu hal yang menarik: Salomo tidak sepenuhnya berpaling dari Tuhan. Sebaliknya, ia “tidak dengan sepenuh hati mengikuti Tuhan”. Dengan kata lain, ia tidak dingin, juga tidak panas. Ia suam-suam kuku. Ia lebih memilih untuk mengikuti daging dan keinginan-keinginannya daripada mengikuti Tuhan dan perintah-perintah-Nya. Reaksi Tuhan terhadap perubahan hati Salomo ini diberikan dalam 1 Raja-raja 11: "Oleh karena begitu kelakuanmu, yakni engkau tidak berpegang pada perjanjian dan segala ketetapan-Ku yang telah Kuperintahkan kepadamu, maka sesungguhnya Aku akan mengoyakkan kerajaan itu dari padamu dan akan memberikannya kepada hambamu. Hanya, pada waktu hidupmu ini Aku belum mau melakukannya oleh karena Daud, ayahmu; dari tangan anakmulah Aku akan mengoyakkannya”.



Contoh kehidupan Salomo ini memperlihatkan apa yang dapat terjadi pada seorang abdi Allah jikalau ia mengizinkan dunia ini hidup di dalam hatinya: ia akan segera menyembah apa yang disembah oleh dunia. Kemuliaan, kehormatan, nama baik, dan kekuasaan, serta harta kekayaan, juga kenikmatan. Apa yang disembah oleh dunia banyak membawa seorang pemimpin besar berpaling dari visi misi awal yang diperjuangkannya.

Kasus Salomo bukan satu-satunya kasus di mana seseorang yang tadinya begitu berapi-api bagi Tuhan, berubah menjadi suam-suam kuku. Orang yang mempunyai tujuan awal mulia, lama-lama terbelokkan untuk hal yang bukan lagi yang diperjuangkannya.  Banyak orang telah jatuh dan mereka jatuh ke dalam perangkap yang sama. Itulah mengapa 11 Korintus 13:5 menasihati kita “Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman”



Cinta akan dunia ini menggantikan cinta kepada Bapa dan fakta bahwa kita pada hari ini berada dalam iman tidak menjamin kita akan tetap berada dalam iman pada  besok hari. “Waspadalah, supaya kamu jangan kehilangan apa yang telah kami kerjakan itu, tetapi supaya kamu mendapat upahmu sepenuhnya.” (II Yohanes 8). Dalam doa kita meminta pertolongan Roh-Nya yang Maha Kudus untuk tetap menjaga iman kita. Karena iman adalah rahmat yang besar dalam hidup kita. Ketika iman kita lakukan dalam perbuatan kasih maka makin sempurnalah ia. Dengan kasih dan iman maka kita selalu mempunyai harapan dalam hidup kita.   (Ch. Enung Martina)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar