Hari sudah menunjukkan pukul 13.30. Kami kembali dari
Pulau Kanawa karena ada kabar bahwa kami harus kembali ke Labuan Bajo karena
pukul 17.00 akan ada perayaan ekaristi di kapel susteran. Segeralah kami
bergegas kembali ke kapal. Para awak
Kajoma Eco kembali sibuk melayani kami setelah beberapa jenak istirahat selama
kami berada di Pulau Kanawa.
Kembali kami
bercengkrama di atas kapal. Bernyanyi dan bercanda. namun, suasana agak sendu karena kami akan berpisah dari para awak kapal Kajoma Eco.
Kapal merapat di
Pelabuhan Labuan Bajo. Kami berpamitan pada para crew kapal. Rasanya selama 2
hari bersama mereka sudah layaknya seperti saudara saja. Kami makan, mengobrol,
bernyanyi, berjoget, dan tertawa bersama. Kini kami akan meninggalkan mereka,
para lelaki Bajo yang hebat. Lelaki yang mencinti lautan dengan air, riak,
angin, dan birunya. Para lelaki Bajo yang mencintai pulau-pulau gersang dengan
warna kuning kecoklatan yang eksotis. Lelaki bajo yang memberikan hidupnya di
atara perbukitan dan lautan.
Mereka adalah pemilik
lautan dan pulau-pulau. Mereka adalah pewaris sah dari tanah yang elok ini.
Mereka adalah para pejuang yang tak kenal lelah memberikan jasa pelayanan
kepada para turis yang ingin mencicipi indahnya alam mereka.
Kita
tahu ternyata suku Bajo menyebar tidak hanya di Manggarai ini. Tentang Suku bajo
atau Suku Sama, mereka tersebar di banyak tempat di Indonesia. Juga diberbagai
negara termasuk Thailand, Malaysia, dan Filiphina. Meski demikian, bahasa yang
digunakan tetap sama, bahasa Bajo Mereka di kenal sebagai suku yang hidup dari
laut. Melaut merupakan pekerjaan yang dijalani hampir seluruh masyarakat Suku
Bajo.
Soal pendidikan, di Suku Bajo kurang mendapat perhatian. Anak-anak lebih senang terjun mencari ikan daripada sekolah. Kesadaran orang tuanya akan pentingnya pendidikan pun masih minim.
Soal pendidikan, di Suku Bajo kurang mendapat perhatian. Anak-anak lebih senang terjun mencari ikan daripada sekolah. Kesadaran orang tuanya akan pentingnya pendidikan pun masih minim.
Di Pulau Flores, suku
ini terpusat di Pulau Babi. Selain itu di Pulau Pemana, Parmaan, Sukun dan bisa
dijumpai hampir di setiap pesisir pantai utara hingga Labuan Bajo, Kabupaten
Manggarai Barat.
Di beberapa tempat di
di Flores Timur, kelompok ini disebut Wajo, Watan, Besidu. Wajo sama artinya
dengan Bajo, yang berarti mendayung, alat pendayung perahu. Watan artinya
pantai, atau keseluruhan hidup di pesisir pantai. Besidu, artinya rumah
panggung di atas air, kehidupan di atas air laut dengan mata pencaharian
sebagai nelayan.
Ada dua versi sejarah
suku Bajo, pertama ada yang berpendapat dari Johor, tapi ada juga yang
mengatakan berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan. Nampaknya bahasa yang digunakan ada kemiripan dengan bahasa Tagalog,
Filipina. Karena itu sering orang
beranggapan bahwa suku bangsa ini tanah asalnya Kepulauan
Sulu, Filipina Selatan. Suku
ini merupakan suku nomaden yang hidup di atas laut, sehingga
disebut gipsi laut.
Suku Bajau menggunakan bahasa
Sama-Bajau. Suku Bajau sejak ratusan tahun yang lalu sudah menyebar
ke negeri Sabah dan berbagai wilayah Indonesia. Suku Bajau
juga merupakan anak negeri di Sabah. Suku-suku di Kalimantan
diperkirakan bermigrasi dari arah utara (Filipina) pada zaman prasejarah. Suku
Bajau yang Muslim ini merupakan gelombang terakhir migrasi dari arah utara
Kalimantan yang memasuki pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan
Selatan dan menduduki pulau-pulau sekitarnya, lebih dahulu daripada kedatangan
suku-suku Muslim dari rumpun Bugis yaitu suku Bugis, suku
Makassar, suku Mandar. Saat ini, Suku Bajau menyebar hampir di seluruh
kepulauan Indonesia (terutama Indonesia Timur), bahkan sampai ke Madagaskar.
Kebanyakan Suku Bajau yang menyebar mulai tinggal menetap dan berbaur dengan
suku-suku lain.
Suku Bajo lahir dan
hidup di laut sehingga punya ketangguhan mengarungi lautan. Meski kini banyak
yang tinggal di darat, ketergantuangan terhadap laut belum hilang. Banyak dari
mereka yang masih berprofesi sebagai nelayan. Masyarakat Bajo kadang dianggap
bajak laut dan perusak, padahal mereka memiliki kearifan dalam mengelola
ekosistem laut.
Suku bajo ini memang suku yang tidak begitu banyak dikenal, karena
keberadaan mereka bisa dibilang cukup langka, dan belum banyak terjamah oleh
pemerintah Indonesia. Berbeda halnya dengan suku Makassar, Bugis, atau Mandar, yang
cukup dikenal oleh masyarakat sebagai raja lautan. Suku Bajo yang pernah menjadi bagian dari Angkatan
Laut Kerajaan Sriwijaya ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Padahal, mereka memiliki ketangguhan dan
keterampilan dalam mengarungi samudera.
Agama Islam menjadi pilihan satu-satunya bagi
seluruh warga Bajo. Bukan suku Bajo kalau tidak beragama Islam dan telah
diwariskan turun-temurun. Meski ratusan tahun warga Bajo tinggal di antara
penduduk Kristen, mereka tetap menjaga identitas diri mereka sebagai orang yang
taat sholat lima waktu dan berpegang tegung pada keyakinan yang diwariskan
kepada mereka sejak nenek-moyangnya.
Suku Bajo juga terkenal
sangat menghormati adat istiadat masyarakat setempat dan selalu menjaga
kerukunan bersama. Kebersamaan dan persatuan di antara warga suku Bajo sangat
kuat. Mereka mampu bertahan di bidang ekonomi, sosial dan budaya karena
persatuan dan kesatuan yang dibangun di antara mereka.
Selama 2 hari kami
bersama dengan orang-orang Suku Bajo. Baru kali ini saya bersentuhan dan
berkomunikasi langsung dengan orang Bajo. Saya mengenal mereka sebagai orang
yang terbuka, ramah, pekerja keras, juga melayani para tamu dengan baik.
Mereka orang-orang lugas. Mereka juga orang-orang yang taat beragama.
(Christina Enung Martina, Labuan Bajo, 27 Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar