TAMU PADA MINGGU KE-3 ADVENT
Masa Advent bagi orang Keristen merupakan masa penantian
sebelum perayaan Natal tiba. Kata Advent sendiri berasal dari bahasa latin
Adventus yang berarti kedatangan. Tujuan itu berupa persiapan untuk menyongsong
Pesta Natal tanggal 25 Desember dan perwujudan masa penantian kedatangan Yesus
Kristus yang kedua sebagai Hakim Akhir Jaman. Kedua arti yang dimaksudkan
di atas ini diketahui berdasarkan catatan-catan historis dalam gereja abad IV.
Dan kemudian dipertegaskan dan dipertahankan kembali dalam Konsili Vatikan II
yang pada saat itu melakukan pembaharuan liturgi.
Ada sebuah pengalaman yang unik berkaitan dengan minggu
Advent ketiga tahun 2019 ini. Cerita
dimulai dari persahabatan saya dengan pemandu jalan ketika saya ke Baduy tahun
2005. Nama pemandu ini adalah Jasrip. Ia salah satu orang Baduy Dalam yang membantu para wisatawan yang akan
berkunjung ke Baduy.
Kala itu saya ke Baduy bersama anak-anak SMA St. Ursula BSD.
Ada 3 pemandu kami, 2 dari Baduy Luar
dan yang seorang dari Suku Baduy Dalam.
Singkat cerita akhirnya saya menjalin ‘duduluran’ -
persaudaraan dengan Jasrip. Bukan hanya teman atau sahabat, tetapi saudara.
Setiap 1 tahun atau 2 tahun sekali Jasrip mengunjungi beberapa orang di Jakarta
dan Tangerang. Saya salah satu yang dikunjunginya. Biasanya dia akan mengakhiri
kunjungannya di rumah saya sebelum balik ke Baduy Dalam. Karena rumah saya
paling dekat dengan jaln pulangnya dia ke arah Serpong, Parung Panjang dst,
dengan berjalan kaki menyusuri jalan raya dan jalan setapak atau jalan kecil
sebagai jalan pintasnya.
Seringnya Jasrip berkelana tidak sendirian. Dia akan membawa
2 atau 3 orang kawan. Dari Jasriplah
persaudaraan saya dengan orang Baduy Dalam bertambah. Setiap kali mampir ke
rumah kami, dia akan membawa 2 atau 3 orang temannya.
Saya sangat senang ketika para sadulur Baduy Dalam
mengunjungi saya. Saya merasa terhormat karena mereka memilih untuk menginap di
rumah saya.
Sudah lima tahun terakhir ini para sadulur Baduy Dalam tidak
berkunjung ke rumah saya. Sering saya nantikan kedatangan mereka yang
tiba-tiba. Ujug-ujug datang di pintu pagar dan berkata : ‘Sampurasun!!! ” itu
adalah suatu moment yang membuat hati saya terasa hangat sampai ke tulang
sunmsum saya. Saya merasa saudara purba saya datang ke rumah saya. Tanpa kabar
tanpa berita mereka datang. Karena mereka tak punya alat komunikasi. Bukan
karena mereka tidak mampu, tetapi karena itu pilihan mereka untuk tak
menggunakan benda-benda modern yang kita dewa-dewakan, bahkan menjadi berhala
modern.
Nah, pada tahun ini Desember 2019, tanggal 10 Desember, pukul
09.13 pagi, mereka ujug-ujug datang di pintu pagar kami. Saya jelas sudah ada
di sekolah. Yang ada di rumah adalah Bob, suami saya dan Aga, anak kedua saya.
Aga belum belum berangkat kerja. Jadilah kabar kedatangan para sadulur Baduy
saya terima di sekolah.
Akhirnya setelah lima tahun tak ada kunjungan dari para
sadulur, sekarang lima orang datang di rumah saya. Jasrip, Sangsang, dan 3
orang remaja generasi penerus mereka yaitu Narja (anak Aldi), Karnadi (anak
Jasrip), dan Nadi (anak Sangsang).
Kedatangan mereka membawa kegembiraan pada kami sekeluarga
yang sudah lama menantikan kunjungan mereka.
Obrolan pun bergulir dari topik cuaca, keadaan keluarga, perjalanan,
hingga alasan 5 tahun tidak berkunjung. Rupanya karena kesibukan di ladang
mereka dan juga karena situasi politik negri yang membuat mereka tidak nyaman
untuk bereprgian ke Jakarta. Meski mereka bukan orang-orang penakut dengan
hal-hal yang akan menimpa mereka. Mereka adalah orang-orang pemberani untuk
melintasi hutan, ladang, desa, dan kota untuk berjalan dengan kaki mereka tanpa
alas kaki. Demi orang-orang yang mereka anggap sadulur mereka turun gunung
dengan berjalan kaki. Jarak jauh mereka tempuh dengan berjalan kaki karena itu
adalah ziarah mereka di dunia: untuk tetap patuh pada adat leluhur yang sudah
menjadi takdir mereka.
Urang Kanekes - Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui
merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten
Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang lebih, dan mereka merupakan
salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Itu adalah sebuah
pilihan yang tidak mudah untuk zaman modern seperti sekarang.
Suku Baduy Dalam atau Urang Kanekes Jero memang mempunyai
peraturan dalam adat mereka Antara lain:
ü Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana
transportasi
ü Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
ü Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali
rumah sang Pu'un atau ketua adat)
ü Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
ü Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian
yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian
modern.
Peraturan tersebut
ditrunakn dari generasi ke generasi. Kepercayaan
masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur
turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur
dan pemujaan kepada roh kekuatan alam.
Bentuk penghormatan
kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan
alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata
air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya
kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian
dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut
ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam
kehidupan sehari-hari orang Kanekes.
Isi terpenting dari
'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa
pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang
disambung.
(Panjang tidak
bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung). Berkaitan
dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes
ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum
masuknya Islam.
Namun, berbeda dengan Narja, remaja berusia 21 tahun
ini, ia menggunakan smart phone. Hal ini karena Narja yang sering tinggal
dengan saudaranya di Baduy Luar unuk mencari nafkah. Jadi diijinkan untuk
memaki HP ketika berada di luar Baduy Dalam. Tapi dia tidak boleh memakainya
saat dia berada di Baduy Dalam.
Jasrip, Aldi, dn Sangsang
Begitulah sedikit tentang para sadulur dari Baduy. Bagi
saya, kehadiran mereka ke rumah kami seolah membuka buku hidup tentang kisah
mereka yang mungkin belum ada yang menceritakannya secara lengkap.
Selama saya bergaul denagn mereka, mereka adalah orang
yang lugu, jujur, berani, teguh dalam pendirian, patuh pada peraturan adat, dan
pekerja keras. Di mana pun mereka berada
peraturan adat selalu mereka patuhi. Namun, sisi lain, mereka adalah
orang-orang yang bersahabat dan mau belajar. Meski tak ada kebiasaan untuk belajar
di sekolah, beberapa orang Baduy bisa baca tulis dengan belajar otodidak. Narja,
salah satunya.
Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis,
sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah,
karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak
usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan
hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa
mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern
di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.
Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis. Begitulah sedikit
gambaran tentang mereka.
Saya merasa terhormat bisa mengenal mereka dengan segala
keunikan mereka. Setiap kali mereka berkunjung, teman dan tetangga juga menjadi
tertarik dengan mereka. Bahkan, Pak Bob, suami saya, pernah ada yang menyangka
ngelmu ke Banten karena rumah kami sering didatangi orang Bduy Dalam.
Pada bulan Desember ini yang sudah mulai sejuk karena
sering hujan, membawa suasana tersendiri. Keadaan yang dipengaruhi cuaca ini membawa suasana yang
syahdu bagi saya. Mungkin juga karena menjelang Perayaan Natal. Ditambah lagi
dengan kedatangan tamu yang dikirim Raja semesta Alam ke rumah kami. Tamu itu
datang pada minggu ketiga Advent. Karena saya orang Sunda kedatangan tamu
merupakan suatu hal yang penting. Bagi orang Sunda KEDATANGAN TAMU kerumah
MENDATANGKAN KARUNIA YANG BANYAK ke dalam
rumah dan penghuninya. Seorang
tamu yang datang mengunjungi seseorang, membawa rezeki untuk orang tersebut
dari Tuhan. Ibu saya di kampung, paling senang dan gembira menerima tamu.
Terima kasih Jasrip, Sangsang, Narja, Nadi, dan
Karnadi telah menjadi tamu saya pada minggu ke-3 Advent. Kedatangan kalian
membawa sukacita bagi kami sekeluarga. (Ch.
Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar