Jumat, 05 Juni 2009

PEREMPUAN ITU

Dalam usiamu yang mulai renta kau tetap bertahan dan ingin terus bertahan. Mengibarkan auramu yang berpendar. Berusaha untuk terus bersinar di tengah-tengah dunia yang kelabu.

Terkadang aku melihat singa betina yang garang dalam dirimu. Siap menerkam bila ada sesuatu hal yang mengancammu, juga mengancam milikmu, keluarga besarmu. Kau tunjukkan taringmu. Kau cakarkan kukumu. Kaulakukan semata karena hanya ingin kau katakana: jangan macam-macam denganku dan jangan ganggu keluargaku!

Lain waktu aku juga melihat merpati putih yang tulus ada pada dirimu. Memberikan cinta putihmu pada yang menurutmu perlu dibantu. Sisi lain, aku juga melihat dirimu adalah induk ayam yang selalu menjaga anak-anaknya. Terus memperhatikan anak-anaknya agar selalu dalam keadaan baik-baik saja.

Hai, engkau perempuan yang membukakan hatiku dan mencelikkan mataku untuk hal-hal yang dulu tak kulihat.

Pertama aku berjumpa denganmu dalam wawancara kerja. Aku si pelamar dan kau calon bosku, suster kepala. Kau bertanya dengan kritis seputar pengalaman kerja.

Perjumpaan kita yang kedua dalam rapat tahun ajaran baru. Kau memimpin rapat : singkat, padat, tanpa basa-basi. Aku terpana.

Pertemuan ketiga dalam pertemuan guru dan TU dari semua unit (TK,SD,SMP). Kau memanggil semua guru baru yang baru bergabung dengan keluarga besar Santa Ursula BSD.

Dari ketiga perjumpaan awal kita, aku punya kesan bahwa kau bukan biarawati yang biasa. Kau bukan suster yang seperti aku kenal selama ini.

Kesanku tentangmu terus meluas, melebar, dan terus berkembang, dan berubah seiring dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi perjumpaan kita baik langsung atau tak langsung. Aku melihat pribadimu dari berbagai sisi. Keburukanmu yang suka marah-marah tanpa memperhitungkan tempat, waktu, atau keadaan. Persis seperti iklan cocacola kapan saja dan di mana saja serta kepada siapa saja.

Ketika kau marah marah, sungguh… situasi yang paling tidak aku sukai. Awal-awal aku berada di Ursula BSD aku takut ketika kau marah. Untuk berikutnya, aku ikut merasa marah dan jengkel. Aku jengkel padamu mengapa sih harus marah-marah begitu rupa kalau segala sesuatu bisa dibicarakan dengan baik-baik. Untuk tingkatan berikutnya aku merasa sedih ketika kau marah, terutama kalau kau marah pada seseorang yang menurut anggapanmu atau laporan yang samapai padamu orang itu bersalah, padahal sebenarnya tidak. Terkadang kau tak mau melihat latar belakang mengapa seseorang melakukan kesalahan. Lama-lama kesedihan berubah menjadi rasa kasihan. Aku kasihan padamu karena aku merasa bahwa marah itu bagimu juga menyiksa: menyita energi, menaikkan tekanan darah, menimbulkan kesan negatif, merusak relasi,dll. Terkadang kemarahanmu menghancurkan semua yang telah kau bangun dengan susah payah, seperti rasa hormat, respek, rasa cinta, dll. Setiap kemarahanmu semakin membawamu jauh dari pendar auramu. Aku kasihan sekaligus sedih. Kau tahu bahwa kau adalah salah satu dari tiga perempuan yang aku kagumi setelah Bunda Maria dan ibuku sendiri.

Hatiku sering tergetar karena haru saat kau mati-matian membela anak-nakmu. Akhir-akhir ini aku nelihat sosokmu yang kian renta karena usia. Apalagi ketika kau naik tangga untuk mencapai ruang yayasan di lantai 3 dengan tulang tuamu. Kenapa sih kantor yayasan tidak pindah ke bawah saja? Aku melihat kelelahan ada padamu, tetapi kau tetap berusaha membangun semangat. Kelelahana itu mungkin karena kau sering merasa khawatir yang menderamu karena kau melihat kami para guru, tu, karyawan, atau warga sekolah ini amat bebal untuk dididik sesuai cita-citamu yang sangat ursulin itu. Mungkin kau berpikir lembaga yang besar ini mau dibawa ke mana sementara kau merasa bahwa kenyataannya kau bukan mahluk abadi. Kau selalu berkata: tak ada yang seperti saya. Memang betul perkataanmu itu: tak ada yang sepertimu.

Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku mengagumimu, mencintaimu, sekaligus mengasihanimu, dan terkadang menyebalimu. Namun, yang paling besar perasaanku adalah kekaguman padamu. Di tanagnmu lahir banyak perempuan hebat bangsa ini. Dengan tangan besimu sebagai pendidik, perempuan generasi muda itu kau tempa sehingga mereka alot dan siap untuk menghadapi tantangan zaman.

Kau selalu diingat murid-muridmu. Dan muridmu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Aku masih teringat ketika kita berada di Israel, tepatnya Gunung Tabor. Saat itu aku berjalan di belakangmu. Sengaja kulakukan karena aku khawatir ketika kau berjalan ada apa-apa dengan dengkul tuamu. Meskipun aku tahu kau paling tidak suka dikasihani dan dibantu. Tiba-tiba dari jauh seorang perempuan setengah baya berlari ke arahmu dengan lolongan bak serigala betina bertemu jantannya. “Susterku….!” Dia memelukmu dan menciumu. Aku terpana: sejauh ini, di puncak gunung Tabor kau juga bertemu dengan muridmu. Dan ajaibnya kau tahu siapa nama muridmu itu. Hebat! Kau memang pendidik sejati.

Satu hal yang tak akan kulupakan adalah perkataanmu yang kau sitir dari Injil (aku lupa nama penulisnya). Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinga dan di hatiku: Kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.

Itulah dirimu. Seorang suster, biarawati, seorang ibu, oma, sekaligus juga seorang yang selalu mencari hal-hal baru. Aku masih harus belajar banyak darimu tentang arti nilai-nilai hidup. Terima kasih untuk didikan yang kausampaikan padaku melalui nasihat, teguran, bahkan juga kemarahanmu. Karena dengan itu semua aku menjadi seorang perempuan yang mempunyai komitmen dalam hidupku untuk semua hal yang sudah kupilih dan sedang kukerjakan.

( Teh Nung yang sedang didera rasa kasihan melihat susternya yang makin tua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar