OPINI berdasarkan ARTIKEL:
Mungkinkah Peradaban Kemiskian Menggantikan Peradaban Kekayaan dalam Dunia Pendidikan
Membaca artikel ini teringat sebuah artikel lain tentang pendidikan yang pernah dimuat pada harian KOMPAS (terbitan maaf lupa) yang berjudul: Orang Miskin Dilarang Sekolah.
Kemiskinan yang seharusnya bisa terangkat dengan pendidikan dalam kenyataannya tidak demikian. Malah terkadang pendidikan menciptakan neokolonialisme yang memperburuk kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Kesenjangan dalam dunia pendidikan antara sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah nasional plus, sekolah internasional dan banyak lagi sekolah sejenis itu dengan sekolah biasa, sekolah kampung, sekolah Indonesia banget memang semakin terasa. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa sekolah yang menamakan dirinya sekolah Katolik atau Kristen dengan visi misi kekatolikan atau kekristenannya pun terkadang melupakan dan keluar dari komitmen sebelumnya yang mengutamakan visi kekristenan: berpihak pada orang lemah.
Di Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bumi Serpong Damai, bisnis dalam dunia pendidikan sekarang ini merajalela. Mulai dari sekolah Taman Bermain, Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi bertebaran di mana-mana. Bisnis ini semakin marak dengan bertebarannya perumahan-perumahan elite di sekitar Jakarta. Apakah ini salah? Tentu saja tidak karena memang hal itu dibutuhkan untuk tuntutan masa sekarang. Lantas yang salah apa? Kesalahannya seperti tadi yang diungkapkan dalam artikel dengan judul di atas, bahwa pendidikan tak pernah berpihak pada orang lemah, orang miskin, kaum marginal, kaum terpinggirkan. Semua sekolah diperuntukkan bagi orang yang berduit, yang mampu bayar. Tidak mampu bayar, ya jangan harap bisa menikmati pendidikan, menginjakkan kaki di halamannya pun sudah diusir satpam.
Lantas nasib orang lemah, kaum tepinggirkan, kaum marginal bagaimana? Sepertinya dalam artikel dengan judul di atas, penulis tidak membatasi pengertian miskin dari sisi ekonomi saja, juga dari sisi kemampuan lain seperti akademis. Di sini artikel tersebut mendiskusikan pendidikan dari sisi permasalahannya dan mengaitkannya dengan teologi kristiani tentang kemiskinan dan pembebasan.
Sisi lain dalam artikel itu dikaitkan juga dengan tokoh pendidikan Katolik; Ellacuria. Salut untuk perjuangan dan pemikirannya. Buah pikirannya tentang pendidikan yang membebaskan sungguh luar biasa. Seharusnya pendidikan itu memang membebaskan dan berpihak pada kaum miskin.
Pemikiran lain dari Ellacuria bahwa pendidikan tidak boleh mengasingkan dunia akademis dengan realitas sejarah yang ada dalam masyarakat.Dengan kata lain pendidikan harus berpijak pada realitas kehidupan. Pendidikan jangan menjadi menara gading yang terasing dari masayarakatnya.
Berbicara tentang pendidikan/sekolah jangan hanya menjadi menara gading, pimpinan kami, Sr Francesco Maryanti,OSU (sudahkah kau mendengar nama besarnya?) selalu mengatakan kepada kami para guru untuk selalu mengajar/mendidik dengan memperhatikan apa yang sedang terjadi di sekeliling. Di sekolah kami (TB,TK,SD,SMP,SMA) sedang digalakkan apa yang disebut pendidikan nilai yang terintegrasi dalam kegiatan kurikuler (ekstra maupun intra). Setiap pertemuan di kelas maupun di luar kelas kami diminta dengan sadar untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Sebetulnya setiap pendidik di mana pun dia mengajar pasti akan mentransfer ilmu dan berikut nilai-nilai, sadar maupun tak sadar. Apakah berhasil? Keberhasilan dari pendidikan nilai itu tidak bisa kami petik secara instan. Hal itu akan melalui perjalanan panjang, proses yang lama tentunya. Yang terpenting bagi kami, kami sudah sampaikan berbagai nilai hidup pada mereka dengan harapan mereka memiliki nilai-nilai tersebut dalam hidup mereka dan tentu saja menjadi pedoman ketika hal itu dibutuhkan.
Artikel dengan judul di atas sungguh memberi wawasan dan peneguhan bahwa pendidikan harus memperhitungkan anak yang kurang/lemah (marginal) dalam berbagai bidang. Artikel ini menyadarkan kembali bahwa pendidikan itu adalah jalan menuju pembebasan. Selain itu muncul harapan bahwa diskriminasi sekolah dengan berbagai sebutan, predikat, dan embel-embel di belakangnya itu tidak menjadi pemisah antara realitas pendidikan di negri kita tercinta ini, melainkan memberikan warna dan memperkaya dunia pendidikan kita dengan saling peduli satu sama lain. Semoga!
Nung Martina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar