Rabu, 18 Maret 2009

REFLEKSI MINNGU INI

Sebetulnya sudah gatal tanganku ingin mengetik banyak hal. Namun, apa daya kala aku duduk depan komputer yang tertulis bukanlah surat malah laporan, program kerja, modul, dan hal lain yang semua bersumber dari otak kiriku. Rasanya otak kiri ini sudah kriting dan terpilin-pilin. Sementara otak kanan kosong dan keropos. Begitulah kisah guru zaman sekarang yang banyak urusan administrasi dan juga urusan yang lainnya.

Ok, mari kita mulai bercerita sekarang. Ceritaku ada dua part. Bagian pertama kisah menyentuh hati karena akibat ketakpedulianku dan akibat suka obral janji dan basa-basi. Begini kisahnya: Pada bulan Mei 2008 lalu, aku kunjungan ke sebuah rumah dalam acara doa Rosario (tugas legio). Pemiliknya seorang perempuan sebaya aku, namanya Anggi. Suaminya Fernando. Anggi katolik, suaminya Budha. Yang sangat menginspirasiku adalah Inge lumpuh sejak ia masuk kuliah karena sesuatu hal, dia tidak bercerita detil. fernando cowoknya sejak SMA setia menunggu Anggi yang lumpuh hingga lulus D3 dan menikahinya meski harus melalui rintangan dari keluarga. Wow… keren, man! Pokoknya ini cinta sejati. Nah, perkawinan mereka Ok. O, ya Anggi itu mandul karena rahimnya diangkat. Gile nggak tuh si Fernando itu. Nah, dalam kunjungan itu aku mengobrol lama dengan Anggi. Sayangnya Fernando bukan tipe orang yang suka ngobrol, jadi hanya salam lalau ia asyik di kamarnya dengan komputernya. Dalam obrolanku terucap kata yang aku pasti tak ingat bagaimana bunyinya, intinya aku janji akan datang lagi ke rumah Inge. Biasa lah basa yang basi. Aku ucapkan tanpa aku sadar apa akibat pada orang. Rupanya Anggi itu menantikan apa yang aku janjikan. Hingga pada Jumat pertama bulan Maret 2009 kemarin, aku bertemu dengan Anggi bersama dua pembantu setianya dalam misa Jumat pertama. Ia menagih janjiku. Aku malu banget dengan Anggi. Aku marah banget dengan diriku sendiri. Gila kok aku sampai gak kepikiran kalo omongan aku yang basa-basi itu diingat sama dia.Betul-betul aku tertohok dengan peristiwa ini. Aku membayangkan bagi Inge dikunjungi itu suatu penghiburan karena ia seharian di rumah tak kenal dunia luar. Sehari-hari bergaul dengan 2 bibi dan suami yang pulang larut. Jarang ada teman, saudara, kenalan, yang datang untuk special ngobrol sama dia, dengerin ceritanya, harapannya, keluhannya. Sungguh, aku benar-benar orang yang tak berperasaan. Rasanya ulu hatiku ditusuk benda tumpul yang membuat aku harus menahan nafas dan menghelanya panjang. Bisa-bisanya aku gak inget dia, dan gak inget akan janjiku sendiri. Akhirnya saat itu terjadilah pertukaran no HP. Hingga sekarang aku belum berkunjung lagi ke rumahnya, tapi kami ber sms. Dia banyak cerita tentang hal yang sepele. Gaya rambut, suaminya, Tanya anak2ku. Bagi orang lain mungkin sepele, tapi itulah hidupnya. Sebetulnya perasaanku lebih pada kasihan. Bukan pada dia, tapi pada diriku sendiri karena dalam diriku juga ada kelumpuhan yang kualami. Ketika aku bertemu dengan seseorang seakan aku melihat salah satu mozaik, bagian dari puzzleku yang masih tercecer, kutemukan pada diri orang itu. Kekagumanku tak henti pada pribadi-pribadi tangguh yang Tuhan pertemukan denganku.

Part Two:
Cerita bagian dua ini lebih suram dari yang pertama. Aku bercerita tentang temanku di kantorku . Dia seorang karyawan di fotocopy samping kantor yayasan. Seorang laki-laki, baru menikah 7 bulan lalu, istrinya sedang hamil 5 bulan. Pada suatu siang ia makan bersamaan di ruang makan denganku. Ia bercerita tentang perasaan khawatir dan ketakutannya. Ia bilang ia tak bisa tidur, sering takut, ada berbagai penyakit yang diderita: tokso, pusing, saluran kemih, batu ginjal, dll. Ia pergi berkunjung ke banyak dokter. Ia malah bingung sebetulnya penyakitnya itu apa. Banyak obat dikonsumsi. Ia merasa tak ada perubahan. Ia bilang kepalanya sering sakit, panas, seperti mau pecah. Karena toksonya, sebelah matanya berangsur suram, dan tak melihat. Aku dengarkan saja. Di akhir obrolan dikasih sedikit saran, diberi penghiburan. Tahu tidak, tiga hari kemudian ia diberi cuti tiga bulan dan pulang Yogya karena ternyata ia menderita schizophrenia, gejala kejiwaan. Aku kaget. Karena setahuku, ia pemuda yang baik, rajin, beriman, tak nampak kestresan yang akut, atau tanda-tanda depresi. Tahu-tahu seperti itu. Dan aku baru menyadari bahwa selama ini kita bekerja, bergaul bersama teman, terkadang hanya sebatas basa-basi lagi. Just say hallo, piye anak-bojomu, tapi kita memberi perhatian hanya di permukaan, dangkal dan terbatas. O, ya… yang mengalami penyakit serupa di tempat aku bekerja sudah tiga orang dengan dia. Aku berpikir kami dengan psikolognya, dengan yayasannya yang besar, dengan namanya yang megah, ternyata tak mampu memberi jaminan kenyamanan hati bagi warganya. Aku sering merasa gamang, prihatin, dll dengan keadaan seperti ini. Meskipun aku tahu ketahanan mental itu tergantung pada tiap pribadi, tiap individu. Lantas terdampar tanya apakah situasi bekerja di kota besar memang demikian? Ada orang yang terpental karena tak bisa mengimbangi irama hidup yang menekan, keras, dan mendesak? Dan aku juga bertanya, kami semua adalah sel dari denyut nadi kehidupan ternyata tak bisa memberikan bantuan, atau kontribusi yang berarti untuk teman yang mengalami seperti itu. Rasanya kok kita ini yang dipertemukan dalam satu wadah menjadi teman menjadi saudara hanya sebatas pada kata. Sesudah itu kita hanya bilang aduh kasihan,… kumpul sumbangan, terus lanjut dengan kesibukan lagi, ngurusi ini-itu. Seolah lupa pada orang itu. Huh… memang kenyataan yang dihadapi dan dituntut (siapa yang menuntut? Gak tahu juga) seperti itu. Namun, kala kita sedikit berhenti masuk dalam kesendirian terbitlah aneka pertanyaan yang menyangkut berbagai peristiwa itu. Yang bisa dilakukan ya, mendoakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar