Tulisan ini memenuhi permintaan dari salah satu pembaca blok URSA MINOR yang ingin mengetahui lebih banyak tentang kampung halaman Teh Nung.
Ayi Dadan Rusmana, hatur nuhun kanggo perhatosan ka Teteh perkawis kampung halaman Teteh di Dusun Susuru, Desa Kertayasa, Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis. Seratan ieu khusus diserat kanggo Ayi. Namung nyuhunkeun dihapunten kumargi Teteh teu acan mendakan data anu akurat perkawis patilasan di dusun Susuru. Seratan ieu medar secara subjektif paningalan Teteh ngeunaan kampung halaman. Panginten ieu seratan teh dipedar kalayan ngabantun bentuk deskriptif naratif tea . Topikna mah langkung condong ka pangalaman pribadi salami di kampung. Wilujeng maos!
Aku dilahirkan disebuah dusun kecil di kabupaten Ciamis Jawa Barat. Nama dusunku Sususru, yang termasuk ke desa Kertayasa, dan kecamatannya Panwangan. Dusunku agak terpencil dan jauh dari kota kabupaten. Penduduk di dusunku kebanyakan petani dengan mengerjakan ladang dan sawah mereka. Keadaan geografis dusunku daerah pegunungan dengan udara dingin menusuk tulang. Seperti pada umumnya pegunungan, daerahnya berbukit-bukit, naik-turun, dan agak terjal.
Aku dibesarkan seperti pada umumnya anak desa. Bermain sepuas hati, tidak ada peraturan ketat tentang ini-itu yang membuat seorang anak harus terpenjara di rumahnya. Pokoknya masa kanak-kanakku kuhabiskan dengan kebebasan sempurna. Bila aku teringat masa itu, rasanya ingin kembali mengenyamnya. Lantas aku bandingkan dengan masa kanak-kanak kedua anakku Metta dan Aga yang dihabiskan dengan hidup gaya anak kota. Sebenarnya sedih juga, aku sebagai ibu ingin memberikan pengalaman yang penuh kebebasan itu kepada mereka. Namun, apa daya kehidupan kota tak sesimpel kehidupan di desa. Bila ingin survive memang kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan tempat kita berada, bukan begitu? Itulah hokum biologi-hukum alam barangkali.
Karena itu pada saat mereka kecil dulu, aku membawa mereka pulang kampung dan membiarkan mereka merasakan jadi anak-anak kampung. Mereka bebas bermain tanah, lumpur, air, atau permainan kampung yang katanya kotor. Kubiarkan mereka menikmatinya. Dengan harapan mereka mempunyai pengalaman yang berbeda tentang masa kanak-kanak mereka. Kata salah satu iklan ditergen: kalau tidak kotor tidak belajar. Bukan begitu?
Kembali ke masa kanak-kanaku di kampung. Aku anak yang tergolong nakal untuk anak perempuan dan anak kampung. Sejak kecil aku ditakuti karena galak dan tukang mukul atau nyubitin orang. Seperti pada umumnya rumah di kampung tak ada pagar, semua orang bebas lewat halaman rumah orang. Nah, banyak orang tak berani lewat halamanku karena aku akan berdiri mencegat orang lewat untuk kukejar dan kucubit.
Teman sepermainanku adalah tetanggaku sekaligus kaka sepupuku, anak uaku. Seorang anak laki-laki yang manis dan tidak senakal aku. Kami bermain mulai dari panjat pohon, main tanah, main kelereng, main masak-masakan, main boneka, dll. Hingga terjadi suatu kisah mutilasi yang sadis terjadi pada saat aku kecil. Ceritanya begini: Aku dan sepupuku, aku panggil dia Ang Aaan, bermain boneka. Boneka itu dibelikan ayahku. Aku masih sedikit ingat boneka itu, berambut kriting dan pirang, berbaju bunga-bunga, dan diberi nama Si Tioh. Kenapa nama itu? Aku juga tidak tahu. Kami berdua asyik bermain di bawah pohon cengkeh di halaman kami. Kami juga main pisau. Pisau itu tumpul. Tiba-tiba muncul ide dari siapa dulu, sudah lupa: untuk memotong kepala Si Tioh. Maka dipotonglah kepala boneka itu. Kemudian kami menguburkannya di tanah dekat pohon bunga sepatu di halaman kami. O, ya rumahnya berdekatan, jadi halamannya satu dan cukup luas. Sesudah menguburkan kepala Si Tioh, kami asyik memanjat pohon cengkeh dan lupa atas dosa kami yang sudah membantai Tioh. Sorenya ibuku yang geger karena Tioh ditemukan di bawah pohon cengkeh dalam keadaan tak berkepala. Bayangkan, aku sudah melakukan mutilasi pada usia dini. Betapa sadisnya!
Masa sekolah di SD dilewatkan di kampung juga. SD-ku bernama SDN Kertaraharja. Tapi SD-ku tak sesuai namanya yang kerta dan raharja. SDku SD kampung, bangunan seperti sekolah desa pada umumnya.Lebih bagus dari SDnya Andre Hirata di Laskar Pelangi, itu pasti. Tapi SDku tiada duanya di dunia. Mengapa? Karena terletak di puncak bukit dengan menghadap ke jalan desa dan membelakangi pemandangan ke arah lembah antara beberapa perbukitan dan hamparan ladang di bukit serta sawah di lembah dan di bukit lain. Bentuknya seperti petak-petak sawah di Bali dalam gambar di kartu pos yang kita beli di Tanah Lot. Ya… agak bagusan Bali dikit deh!
Nah, di halaman belakang dengan pemandangan yang spektakuler itu aku punya banyak pengalaman lucu masa sekolahku. Masa praremaja, masa bandel, masa yang polos, masa lugu, tanpa beban. Hingga sekarang pemandangan itu masih seperti dulu, meski ada perubahan pembangunan di sana-sini.
Di SD aku tak ada saingan. Aku yang paling pintar untuk angkatanku. Katanya aku pintar sebenarnya gak juga sih. Aku hanya menang semalam dengan teman-temanku. Kalau mereka malamnya males belajar karena harus bantu orang tua atau karena males. Tetapi, aku pasti belajar. Dan satu hobiku yang membuat aku lebih cerdas dari teman-temanku adalah aku suka baca apa saja. Koran bekas bungkus. Bahkan Kitab Suci Injil (perjanjian Baru) dan Perjanjian Lama pun aku lalap habis. Ngerti atau tidak pokoknya baca. Hingga sekarang pun aku suka baca.
Nah, SMP aku baru ke kota kecamatan karena di kampungku tak ada SMP. Aku harus naik mobil bak yang mengantar sayuran, sereh, minyak, atau jalan kaki kalau tak ada mobil yang bisa ditumpangi. Cukup jauh sekitar 7 km dari rumah. Nah, SMP ku namanya SMPN Panawangan. Banyak pengalaman manis dan juga yang tak mengenakkan di sini. Pengalaman manis bergaul bersama teman, juga mendapat pengetahuan dan ilmu. Pengalaman burukku agak dikucilkan karena aku anak Kristen. Itu untuk pertama kalinya. Bagi beberapa temanku di SMP agak aneh karena di daerah kami orang Kristen itu mahluk langka sama anehnya dengan mahluk dari planet lain. Tapi karena aku mampu membuktikan diriku dengan kemampuan otakku, jadi aku tidak terlalu aneh di depan mata teman-temanku.
Berbeda dengan teman-temanku. Guruku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang merangkap guru agama Islam memandangku sedikit aneh dan agak sinis. Itu mungkin perasaanku saja. Tapi aku gak berani macem-macem dengan dia. Seram. Guru-guru lain baik-baik saja menerima aku sebagai murid yang normal dan patut diperhatikan. O, ya aku belajar agama Islam di SD maupun di SMP. Guru agama Islamku di SD, wow… baik sekali. Aku salut dan takjub sama beliau. Beliau seorang guru yang pandai bercerita. Beliau bercerita tentang kisah nabi-nabi yang juga sama aku baca dari kitab Perjanjian Lama. Jadi aku mengagumi beliau. Pelajaran agama Islamku di SD cincai, 9 dan 10 ada di tangan, kecuali kalau menulis arab. Kalo ngaji aku juga bisa kan diajari oleh ayahku yang dulunya seorang modin. Beliau mengucapkan aku menirukan sampai hafal dan sempurna. Saat penilaian aku lancar bahkan lebih lancar dari teman-temanku yang Muslim. Kalau ditanya artinya pasti aku gak tahu. Kalau sekarang suruh mengulang pasti sudah lupa. Mungkin Surat Al Fatihah masih bisa sedikit-sedikit.
Begitulah beberapa pengalaman di masa anak-anak dan remajaku. Yang jelas aku tumbuh di dusun Susuru yang membentuk aku menjadi seperti sekarang ini. Di dusun ini aku belajar memberikan penghargaan pada alam semesta hasil karya Allah. Di dusun ini aku belajar kerja sama, di dusun ini aku belajar nilai penghargaan terhadap kepercayaan orang lain, di dusun ini juga aku belajar menghargai perbedaan.
Betapa dia banyak memberikan nilai hidup untukku. Jadi meski aku berada nun jauh di dari kampungku, pasti aku akan mgenangkannya dalam ruang ingatanku. Orang bilang kampungan, emang iya, lantas mau apa? Ndeso, emang betul, aku orang desa yang bangga menjadi demikian. Begitulah, kedesaan dan kampungan membentukku untuk selalu percaya pada kebaikan orang siapa pun itu. Untuk menghargai orang yang bersebrangan denganku. Kayaknya aku bicaranya seperti guru PKN, nanti jadi alih profesi dari guru bahasa Indonesia menjadi guru PKN. Nah, dalam tulisan ini aku sedikit melupakan kaidah kebahsaanku. Tak mengapa karena bahasa itu luwes.
Kita akhiri dulu cerita sekitar kampungku. Nanti disambung lagi masih dari kampung juga. Siapa tahu sudah ada data yang lebih akurat. Ok. Terima kasih sudah menjadi pembaca setia blok Teh Nung.
Mangga sadayana dikantun heula.
Hatur nuhun.
Teh Enung Martina yang bangga karena ada yang memperhatikan kampungnya.
Urang mana Teh Nung???? Lumaserang atau lembur???
BalasHapusWilujeng sumping kanggo Putri Komputer. Hatur nuhun parantos rurumpaheun ka blog teteh. Teh Nung mah ti Lempong Tajug caket Lumaserang.
BalasHapushmmmm, teteh linggih di mana ayena ?
BalasHapushhhh
BalasHapusYeyen....
BalasHapushatur nuhun kersa rurumpaheun ka blog teteh.