BAMBU GILA
Ketika kami mengunjungi Liang, Hila, Maluku Tengah, kami disuguhi tarian Tobelo dan permainan
Bambu Gila. Sejak lama saya sudah mengetahui tentang permainan tradisional ini.
Namun, baru kali ini saya melihat dengan langsung.
Sebetulnya apa itu bambu gila? Sebatang bambu dipegang oleh
beberapa orang, lalu oleh seorang dukun /pawang bambu ini diberi mantera.
Lama-kelamaan bambu ini nampak terasa berat bagi para pemainnya hingga
orang-orang yang memegangnya berjatuhan ke tanah dan kewalahan memegannya. Tidak
hanya berat, bambu ini bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti/mendekati asap
kemenyan yang disemburkan Sang Pawang.
Permainan ini terlihat sangat sederhana. Tidak diperlukan
berbagai pernak-pernik dan aksesoris. Permainan bambu gila hanya memerlukan
sebatang bambu sepanjang 2,5 – 3 meter dengan diameter sekitar 8 cm. Serta 7
orang yang berani untuk mengadu kuat dengan bambu dan beberapa pawang dengan
kemenyan. Tarian ini adalah warisan dari leluhur mayarakat Maluku. Biasanya
tarian ini sering diadakan di pesta-pesta atau acara-acara besar. Namun, saat
kami datang sengaja disuguhkan tarian ini untuk konsumsi wisata.
Sang Pawang mulai mendaraskan manteranya, lalu ia membakar
kemenyan, dan mengoleskan bangle di kedua ukung bambu. Kemudian para pemain
mulai mengucapkan kata “Bara Masuwen”. Aroma
kemenyan dari padupan dibawa asap pada ujung suluh bercampur dengan aroma
bangle yang dioleskan tadi, mulai membuat bambu bergoncang. Tak pelak lagi,
para pemegang bambu gila ini, mulai mengerahkan tenaganya mempertahankan
posisi, agar tak mudah dikalahkan tujuh ruas bambu. Para pemain nampak
kewalahan mempertahankan diri dengan memegangi bambu yang bergoyang ‘mengamuk’.
Sebetulnya Bambu Gila merupakan bentuk pertunjukan tertua
rakyat yang bersifat ritual. Pertunjukan Bambu Gila sudah dikenal sejak lama. Konon, sebelum Inggris
dan Portugis datang ke Maluku untuk mencari rempah-rempah. Permainan ini mencerminkan
sifat kegotong royongan dan ciri keseharian rakyat di Maluku.
Informasi dari sumber Kompas.com: Kesultanan Ternate
menyatakan permainan bambu gila berasal dari Maluku Utara, khususnya Ternate.
Oleh karena itu kalau ada daerah di Indonesia yang mengklaim bahwa permainan
bambu gila asal daerahnya, jelas itu tidak benar. “Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa permainan bambu gila asal Malut, seperti dari penggunaan
bahasa dalam permainan bambu gila itu,” kata seorang perangkat Kesultanan
Ternate, Arifin Djafar di Ternate, Senin (23/4/2012). Menurut Arifin, bahasa
yang digunakan dalam permainan bambu gila yang di Malut dikenal dengan nama
‘bara masuen’ itu adalah bahasa Ternate, baik saat prosesi saat menyiapkan
bambu maupun mantra yang dibaca saat dimainkan.
Permainan bambu gila sudah ada di Ternate sejak ratusan tahun
silam dan saat itu permainan bambu gila dimanfaatkan masyarakat adat Kesultanan
Ternate untuk memindahkan barang yang tidak mungkin diangkat menggunakan tenaga
manusia. Bambu gila saat
itu digunakan oleh masyarakat Kesultanan Ternate sebagai senjata untuk
melumpuhkan musuh. Saat itu bambu gila bisa dikerahkan dengan kekuatan
supranatural untuk menyerang lawan.
Ada juga sumber yang mengatakan bahwa di masa Kesultanan
Ternate, penduduk menggunakan bambu gila untuk mendorong perahu kora-kora dari
daratan ke laut. Beberapa orang, jumlahnya harus ganjil, mengapit bambu di
lengan mereka dan berdiri di belakang kapal. Dengan jampian pawang, bambu pun
memiliki kekuatan untuk mendorong kora-kora.
Kekuatan bambu tidak hanya datang dari rapalan pawang, tapi
juga dipengaruhi asap. Makin banyak asap, semakin besar juga kekuatan si bambu.
Asap tersebut bisa berasal dari serabut kelapa atau kemenyan. Dan si pawanglah
yang mengatur kekuatan bambu. Dimana si pawang memberikan asap, di situlah
kekuatan terbesar bambu. Filosofi dri permainan ini adalah mengasah kerja sama dan kekompakan
masyarakat untuk mencapai suatu tujuan.
Setelah selesai para pemain dari desa membawakan tarian bamboo
gila, kini giliran para tamu/pengunjung untuk mencobanya. Maka dimulailah dari
para bapak Santa Ursula BSD yang bersedia membawa bamboo gila tersebut.
Tampillah 7 guru pria perkasa. Mulailah pawang memberikan petunjuk kepada para
pemain dadakan ini. “Bara masuen (bambu
gila),” teriak Pak Pawang sambil mengoleskan bangle di kedua ujung bamboo dan
mengasapi si bambu serta tak lupa mendorong bambu yang dipegang para bapak tadi.
“Dadi gogo (benar-benar jadi),” para bapak menimpali perkataan Pak Pawang
menjawab serentak. Tiba-tiba, bambu warna hijau itu mulai bergerak-gerak. Bambu
makin berat, terasa seperti hidup dan ingin berontak dari pelukan tangan para
pria ini. Selongsong bambu itu membetot dan mengocok para pemegangnya ke kiri
dan ke kanan.
Bambu gila itu memaksa para penggenggamnya mengeluarkan
tenaga ekstra untuk melawan kekuatan sang bambu. Sampai akhirnya, mereka harus
mengakui kekuatan bambu tersebut. Si
pawang kembali mendaraskan mantranya. Mulutnya komat kamit sambil tangannya
memegang ujung bambu. Lalu, kekuatan bambu pun menghilang. Semua pria
terengah-engah tampak kelelahan.
Kini tiba giliran para ibu. Satu ibu yang saya ajak mengobrol
banyak yang juga penari Tobelo selamat
datang tadi, berkata bahwa biasanya kalau dipegang ibu-ibu bambunya tak jadi
gila. Kenapa? Mungkin para ibu mempunyai power
of emak-emak yang suka terkenal nekad tanpa perhitungan. Atau bambunya
senang karena dipeluk perempuan yang hangat dan empuk. Jadi bambunya kalem
tidak gila. Saya ingin membuktikan perkataan si ibu yang mengobrol dengan saya
tadi. Saya benar-benar memperhatikan perbedaan teman saya yang laki-laki tadi
dengan 7 orang teman saya perempuan yang tak diragukan lagi kekuatan fisiknya:
ada 2 guru olah raga, ada penari, ada juga karateka tingkat ansional. Itu semua
para emak-emak.
Mulailah ritual dasar dan standard yang dilakukan para pawang
bambu gila. Para ibu diberi pengarahan. Mereka mengerti arahan Pak Pawang. Kemenyan
mengepul, bangle dioles, teriakan ‘bara masuen’ yang harus dijawab ‘dadi gogo’
oleh pemain. Nah, anehnya teman saya yang ibu-ibu itu tidak menjawab ‘dadi
gogo’ tapi ada yang teriak ‘kali jodo!’, ‘baru jodo’ dan ‘ jadi jodo’. Pokoknya
taka da yang tepat ungkapannya. Penonton bersorak-sorai melihat tingkah para
ibu yang berjibaku dengan bambunya. Ekspresi mereka sangat heboh dan luar
biasa. Sepertinya yang gila bukan bambunya, malah para ibu ini yang gila. Kami
yang menonton tak henti tertawa. Bambu itu ketika diperhatikan tak sehebat
mengamuk seperti pada saat dibawa oleh pemegang ambu penduduk asli.
Mungkin ini yang disebut oleh ibu penari Tobelo bahwa bambu gila
tak jadi kalau dipegang perempuan. Wong,
mantrane wae salah kok. Mantara ‘dadi gogo’ malah menjadi kali jodo, jadi
jodo, atau baru jodo! Salute untuk the power of emak-emak!
(Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar