Minggu, 17 Juni 2018

AMBON MANISE 10


BAMBU GILA


Ketika kami mengunjungi Liang, Hila, Maluku Tengah,  kami disuguhi tarian Tobelo dan permainan Bambu Gila. Sejak lama saya sudah mengetahui tentang permainan tradisional ini. Namun, baru kali ini saya melihat dengan langsung.

Sebetulnya apa itu bambu gila? Sebatang bambu dipegang oleh beberapa orang, lalu oleh seorang dukun /pawang bambu ini diberi mantera. Lama-kelamaan bambu ini nampak terasa berat bagi para pemainnya hingga orang-orang yang memegangnya berjatuhan ke tanah dan kewalahan memegannya. Tidak hanya berat, bambu ini bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti/mendekati asap kemenyan yang disemburkan Sang Pawang.

Permainan ini terlihat sangat sederhana. Tidak diperlukan berbagai pernak-pernik dan aksesoris. Permainan bambu gila hanya memerlukan sebatang bambu sepanjang 2,5 – 3 meter dengan diameter sekitar 8 cm. Serta 7 orang yang berani untuk mengadu kuat dengan bambu dan beberapa pawang dengan kemenyan. Tarian ini adalah warisan dari leluhur mayarakat Maluku. Biasanya tarian ini sering diadakan di pesta-pesta atau acara-acara besar. Namun, saat kami datang sengaja disuguhkan tarian ini untuk konsumsi wisata.

Sang Pawang mulai mendaraskan manteranya, lalu ia membakar kemenyan, dan mengoleskan bangle di kedua ukung bambu. Kemudian para pemain mulai mengucapkan kata “Bara Masuwen”.  Aroma kemenyan dari padupan dibawa asap pada ujung suluh bercampur dengan aroma bangle yang dioleskan tadi, mulai membuat bambu bergoncang. Tak pelak lagi, para pemegang bambu gila ini, mulai mengerahkan tenaganya mempertahankan posisi, agar tak mudah dikalahkan tujuh ruas bambu. Para pemain nampak kewalahan mempertahankan diri dengan memegangi bambu yang bergoyang ‘mengamuk’.

Sebetulnya Bambu Gila merupakan bentuk pertunjukan tertua rakyat yang bersifat ritual. Pertunjukan Bambu Gila sudah dikenal sejak lama. Konon, sebelum Inggris dan Portugis datang ke Maluku untuk mencari rempah-rempah.  Permainan ini   mencerminkan sifat kegotong royongan dan ciri keseharian rakyat di Maluku.

Informasi dari sumber Kompas.com: Kesultanan Ternate menyatakan permainan bambu gila berasal dari Maluku Utara, khususnya Ternate. Oleh karena itu kalau ada daerah di Indonesia yang mengklaim bahwa permainan bambu gila asal daerahnya, jelas itu tidak benar. “Banyak bukti yang menunjukkan bahwa permainan bambu gila asal Malut, seperti dari penggunaan bahasa dalam permainan bambu gila itu,” kata seorang perangkat Kesultanan Ternate, Arifin Djafar di Ternate, Senin (23/4/2012). Menurut Arifin, bahasa yang digunakan dalam permainan bambu gila yang di Malut dikenal dengan nama ‘bara masuen’ itu adalah bahasa Ternate, baik saat prosesi saat menyiapkan bambu maupun mantra yang dibaca saat dimainkan.

Permainan bambu gila sudah ada di Ternate sejak ratusan tahun silam dan saat itu permainan bambu gila dimanfaatkan masyarakat adat Kesultanan Ternate untuk memindahkan barang yang tidak mungkin diangkat menggunakan tenaga manusia. Bambu gila saat itu digunakan oleh masyarakat Kesultanan Ternate sebagai senjata untuk melumpuhkan musuh. Saat itu bambu gila bisa dikerahkan dengan kekuatan supranatural untuk menyerang lawan.

Ada juga sumber yang mengatakan bahwa di masa Kesultanan Ternate, penduduk menggunakan bambu gila untuk mendorong perahu kora-kora dari daratan ke laut. Beberapa orang, jumlahnya harus ganjil, mengapit bambu di lengan mereka dan berdiri di belakang kapal. Dengan jampian pawang, bambu pun memiliki kekuatan untuk mendorong kora-kora.

Kekuatan bambu tidak hanya datang dari rapalan pawang, tapi juga dipengaruhi asap. Makin banyak asap, semakin besar juga kekuatan si bambu. Asap tersebut bisa berasal dari serabut kelapa atau kemenyan. Dan si pawanglah yang mengatur kekuatan bambu. Dimana si pawang memberikan asap, di situlah kekuatan terbesar bambu. Filosofi dri permainan ini  adalah mengasah kerja sama dan kekompakan masyarakat untuk mencapai suatu tujuan.

Setelah selesai para pemain dari desa membawakan tarian bamboo gila, kini giliran para tamu/pengunjung untuk mencobanya. Maka dimulailah dari para bapak Santa Ursula BSD yang bersedia membawa bamboo gila tersebut. Tampillah 7 guru pria perkasa. Mulailah pawang memberikan petunjuk kepada para pemain dadakan ini.  “Bara masuen (bambu gila),” teriak Pak Pawang sambil mengoleskan bangle di kedua ujung bamboo dan mengasapi si bambu serta tak lupa mendorong bambu yang dipegang para bapak tadi. “Dadi gogo (benar-benar jadi),” para bapak menimpali perkataan Pak Pawang menjawab serentak. Tiba-tiba, bambu warna hijau itu mulai bergerak-gerak. Bambu makin berat, terasa seperti hidup dan ingin berontak dari pelukan tangan para pria ini. Selongsong bambu itu membetot dan mengocok para pemegangnya ke kiri dan ke kanan.

Bambu gila itu memaksa para penggenggamnya mengeluarkan tenaga ekstra untuk melawan kekuatan sang bambu. Sampai akhirnya, mereka harus mengakui kekuatan bambu tersebut.  Si pawang kembali mendaraskan mantranya. Mulutnya komat kamit sambil tangannya memegang ujung bambu. Lalu, kekuatan bambu pun menghilang. Semua pria terengah-engah tampak kelelahan.

Kini tiba giliran para ibu. Satu ibu yang saya ajak mengobrol banyak yang juga penari Tobelo  selamat datang tadi, berkata bahwa biasanya kalau dipegang ibu-ibu bambunya tak jadi gila. Kenapa? Mungkin para ibu mempunyai power of emak-emak yang suka terkenal nekad tanpa perhitungan. Atau bambunya senang karena dipeluk perempuan yang hangat dan empuk. Jadi bambunya kalem tidak gila. Saya ingin membuktikan perkataan si ibu yang mengobrol dengan saya tadi. Saya benar-benar memperhatikan perbedaan teman saya yang laki-laki tadi dengan 7 orang teman saya perempuan yang tak diragukan lagi kekuatan fisiknya: ada 2 guru olah raga, ada penari, ada juga karateka tingkat ansional. Itu semua para emak-emak.

Mulailah ritual dasar dan standard yang dilakukan para pawang bambu gila. Para ibu diberi pengarahan. Mereka mengerti arahan Pak Pawang. Kemenyan mengepul, bangle dioles, teriakan ‘bara masuen’ yang harus dijawab ‘dadi gogo’ oleh pemain. Nah, anehnya teman saya yang ibu-ibu itu tidak menjawab ‘dadi gogo’ tapi ada yang teriak ‘kali jodo!’, ‘baru jodo’ dan ‘ jadi jodo’. Pokoknya taka da yang tepat ungkapannya. Penonton bersorak-sorai melihat tingkah para ibu yang berjibaku dengan bambunya. Ekspresi mereka sangat heboh dan luar biasa. Sepertinya yang gila bukan bambunya, malah para ibu ini yang gila. Kami yang menonton tak henti tertawa. Bambu itu ketika diperhatikan tak sehebat mengamuk seperti pada saat dibawa oleh pemegang ambu penduduk asli.

Mungkin ini yang disebut oleh ibu penari Tobelo bahwa bambu gila tak jadi kalau dipegang perempuan. Wong, mantrane wae salah kok. Mantara ‘dadi gogo’ malah menjadi kali jodo, jadi jodo, atau baru jodo!  Salute untuk the power of emak-emak!

(Ch. Enung Martina)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar