Jumat, 15 Juni 2018

AMBON MANISE 9


BENTENG AMSTERDAM

Awalnya saya mengira benteng Amsterdam pasti peninggalan penjajahan Belanda saat mereka berkuasa di tanah Maluku. Ternyata dugaan saya salah. Ternyata Benteng Amsterdam merupakan sebuah bangunan tua peninggalan Portugis yang dibangun pada saat masa penjajahan Bangsa Portugis ke Indonesia. Namun, kemudian bangunan ini diambil alih oleh Bangsa Belanda, yang saat itu menyusul datang ke Indonesia. Usia dari Benteng ini mencapai ratusan tahun yang sekaligus menjadi saksi kedatangan VOC di kota Ambon.

Bentuk dari Benteng Amsterdam Ambon ini mirip sekali dengan rumah, orang Belanda menyebut bangunan ini “Blok Huis” artinya fortifikasi (pertahanan, pencegahan terhadap serangan). Jadi benteng ini difungsikan sebagai benteng pertahahanan. 
Panorama laut lepas dari menara


Benteng Amsterdam memiliki 3 lantai yaitu  pada lantai 1 terbuat dari batu bata merah. Sedangkan lantai 2 dan lantai 3 terbuat dari kayu besi. Fungsi dari ketiga lantai tersebut berbeda beda. Lantai 1 pada masa itu, digunakan sebagai tempat tidur para serdadu. Lantai 2 digunakan untuk tempat rapat rapat penting petinggi atau perwira Kolonial Belanda. Sedangkan lantai 3 digunakan untuk pos pemantau. Bangunan ini dilengkapi dengan sebuah menara yang cukup tinggi. Menara ini oleh Bangsa Belanda digunakan untuk mengintai musuh. Dari atas menara ini, kolonial belanda dapat dengan mudah mengawasi di sekeliling Benteng jika ada pihak yang ingin menyerangnya. Dari menara ini juga kita dapat memandang ke laut lepas sehingga bila ada kapal datang dengan mudah dapat terlihat. 


Di setiap sisi bangunan terdapat jendela. Di depan benteng terdapat prasasti dengan lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Prasasti itu bertuliskan: BENTENG AMSTERDAM. Mulai Dibangun Oleh: Gerrard Demmer pada tahun 1642.

Menurut catatan sejarah, Benteng Amsterdam pertama kali didirikan oleh Bangsa Portugis pada tahun 1512. Pembangunan benteng ini dibawah kepemimpinan Fransisco Serrao. Ketika pertama kali berdiri bangunan ini dijadikan sebagai loji perdagangan. Kemudian sekitar pada tahun 1905, tempat ini diambil alih oleh penjajah Belanda. Para kolonial belanda mengubah tempat ini yang dulunya tempat loji perdagangan menjadi kubu pertahanan. Dari kejadian ini kolonial belanda memperluas area kekuasaannya hingga ke seluruh penjuru Maluku.

Lokasi Benteng Amsterdam terletak di tepi pantai dan tidak jauh dari Pusat Kota Ambon, tepatnya berada di Kec. Hila, Kota Ambon, Provinsi Maluku Tengah. Benteng ini berada di perbatasan antara Negeri Hila dan Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, sekitar 42 km dari kota Ambon. Letak benteng ini tepat di samping pantai Negeri Hila dan Negeri Kaitetu.

Sebelum menjadi benteng, tempat ini adalah loji milik Portugis untuk menyimpan rempah-rempah (pala dan cengkih). Benteng ini sangat berarti bagi Portugis karena pada masa itu, Teluk Ambon merupakan jalur keluar-masuk kapal-kapal dagang di Maluku.
(sumber :   scubadiver.co.id)

Saya menaiki benteng tua ini hingga lantai teratas. Di lantai atas saya melihat ada banyak lukisan ikan dengan aneka warna yang menarik. Ada juga beberapa lukisan yang bentuknya seperti mahluk-mahluk dalam imajinasi. Saya penasaran sekali dengan lukisan-lukisan itu. Namun, kala saya bertanya pada pemandu saya, dia kurang mengetahui mengapa ada lukisan-lukisan di sana. Saya Tanya pada beberapa pemuda-pemudi yang sedang mejeng dan bercanda di sana juga taka da yang tahu. Saya penasaran, tetapi taka da yang bisa menjawab rasa penasaran saya.

Akhirnya saya berselancar di dunia maya, maka dapatlah jawabannya. Ternyata G.E. Rumphius seorang pencinta alam dan sejarawan berkebangsaan Jerman pernah tinggal di benteng ini, menulis buku-buku tentang flora dan fauna Ambon. 
(sumber :   scubadiver.co.id)

Georg Everhard Rumphius adalah seorang naturalis dan ahli sejarah dari Jerman (1627 – 1702). Selain menulis tentang flora dan fauna Ambon, ia juga menulis tentang gempa dan tsunami yang melanda Maluku dalam bukunya yang berjudul   Waerachtigh Verhael Van de Schrickelijcke Aerdbevinge’ . Gempa dan tsunami itu terjadi pada tanggal 17 Februari 1674, mengakibatkan kerusakan parah desa-desa di pesisir utara Pulau Ambon dan bagian selatan Pulau Seram. Buku-buku karya G.E. Rumphius bisa kita lihat di Perpustakaan Rumphius yang dikelola oleh Andreas Petrus Cornelius Sol MSC di komplek Pastoran Paroki Santo Franciscus Xaverius, Ambon. Padahal saya sebelumnya pergi ke Gereja Santo Fransisikus Xaverius seperti yang saya ceritakan pada Ambon Ma nise 3 dan 4. Namun kala saya ke sana, saya tidak pergi untuk melihat buku ini karena waktu saya belum tahu tentang informasi ini. (Ch. Enung Martina)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar