BENTENG AMSTERDAM
Awalnya saya mengira benteng Amsterdam pasti peninggalan
penjajahan Belanda saat mereka berkuasa di tanah Maluku. Ternyata dugaan saya
salah. Ternyata Benteng Amsterdam merupakan sebuah bangunan tua peninggalan
Portugis yang dibangun pada saat masa penjajahan Bangsa Portugis ke Indonesia.
Namun, kemudian bangunan ini diambil alih oleh Bangsa Belanda, yang saat itu
menyusul datang ke Indonesia. Usia dari Benteng ini mencapai ratusan tahun yang
sekaligus menjadi saksi kedatangan VOC di kota Ambon.
Bentuk dari Benteng Amsterdam Ambon ini mirip sekali dengan
rumah, orang Belanda menyebut bangunan ini “Blok Huis” artinya fortifikasi (pertahanan,
pencegahan terhadap serangan). Jadi benteng ini difungsikan sebagai benteng
pertahahanan.
Panorama laut lepas dari menara
Benteng Amsterdam memiliki 3 lantai yaitu pada lantai 1 terbuat dari batu bata merah.
Sedangkan lantai 2 dan lantai 3 terbuat dari kayu besi. Fungsi dari ketiga
lantai tersebut berbeda beda. Lantai 1 pada masa itu, digunakan sebagai tempat
tidur para serdadu. Lantai 2 digunakan untuk tempat rapat rapat penting
petinggi atau perwira Kolonial Belanda. Sedangkan lantai 3 digunakan untuk pos
pemantau. Bangunan ini dilengkapi dengan sebuah menara yang cukup tinggi.
Menara ini oleh Bangsa Belanda digunakan untuk mengintai musuh. Dari atas
menara ini, kolonial belanda dapat dengan mudah mengawasi di sekeliling Benteng
jika ada pihak yang ingin menyerangnya. Dari menara ini juga kita dapat
memandang ke laut lepas sehingga bila ada kapal datang dengan mudah dapat
terlihat.
Di setiap sisi bangunan terdapat jendela. Di depan benteng
terdapat prasasti dengan lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Prasasti
itu bertuliskan: BENTENG AMSTERDAM. Mulai Dibangun Oleh: Gerrard Demmer pada
tahun 1642.
Menurut catatan sejarah, Benteng Amsterdam pertama kali
didirikan oleh Bangsa Portugis pada tahun 1512. Pembangunan benteng ini dibawah
kepemimpinan Fransisco Serrao. Ketika pertama kali berdiri bangunan ini
dijadikan sebagai loji perdagangan. Kemudian sekitar pada tahun 1905, tempat
ini diambil alih oleh penjajah Belanda. Para kolonial belanda mengubah tempat
ini yang dulunya tempat loji perdagangan menjadi kubu pertahanan. Dari kejadian
ini kolonial belanda memperluas area kekuasaannya hingga ke seluruh penjuru
Maluku.
Lokasi Benteng Amsterdam terletak di tepi pantai dan tidak
jauh dari Pusat Kota Ambon, tepatnya berada di Kec. Hila, Kota Ambon, Provinsi
Maluku Tengah. Benteng ini berada di perbatasan antara Negeri Hila dan Negeri
Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, sekitar 42 km dari kota
Ambon. Letak benteng ini tepat di samping pantai Negeri Hila dan Negeri
Kaitetu.
Sebelum menjadi benteng, tempat ini adalah loji milik
Portugis untuk menyimpan rempah-rempah (pala dan cengkih). Benteng ini sangat
berarti bagi Portugis karena pada masa itu, Teluk Ambon merupakan jalur
keluar-masuk kapal-kapal dagang di Maluku.
(sumber : scubadiver.co.id)
Saya menaiki benteng tua ini hingga lantai teratas. Di lantai
atas saya melihat ada banyak lukisan ikan dengan aneka warna yang menarik. Ada juga
beberapa lukisan yang bentuknya seperti mahluk-mahluk dalam imajinasi. Saya
penasaran sekali dengan lukisan-lukisan itu. Namun, kala saya bertanya pada
pemandu saya, dia kurang mengetahui mengapa ada lukisan-lukisan di sana. Saya Tanya
pada beberapa pemuda-pemudi yang sedang mejeng dan bercanda di sana juga taka
da yang tahu. Saya penasaran, tetapi taka da yang bisa menjawab rasa penasaran
saya.
Akhirnya saya berselancar di dunia maya, maka dapatlah
jawabannya. Ternyata G.E. Rumphius seorang pencinta alam dan sejarawan
berkebangsaan Jerman pernah tinggal di benteng ini, menulis buku-buku tentang
flora dan fauna Ambon.
(sumber : scubadiver.co.id)
Georg Everhard Rumphius adalah seorang naturalis dan ahli
sejarah dari Jerman (1627 – 1702). Selain menulis tentang flora dan fauna
Ambon, ia juga menulis tentang gempa dan tsunami yang melanda Maluku dalam
bukunya yang berjudul ‘ Waerachtigh
Verhael Van de Schrickelijcke Aerdbevinge’ . Gempa dan tsunami itu terjadi
pada tanggal 17 Februari 1674, mengakibatkan kerusakan parah desa-desa di
pesisir utara Pulau Ambon dan bagian selatan Pulau Seram. Buku-buku karya G.E.
Rumphius bisa kita lihat di Perpustakaan Rumphius yang dikelola oleh Andreas
Petrus Cornelius Sol MSC di komplek Pastoran Paroki Santo Franciscus Xaverius,
Ambon. Padahal saya sebelumnya pergi ke Gereja Santo Fransisikus Xaverius
seperti yang saya ceritakan pada Ambon Ma nise 3 dan 4. Namun kala saya ke sana,
saya tidak pergi untuk melihat buku ini karena waktu saya belum tahu tentang
informasi ini. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar