Sabtu, 02 Juni 2018

AMBON MANISE 4


PERTEMUAN YANG TAK TERDUGA


Saya akan berkisah tentang pengalaman rohani saya di Katedral Ambon. Tepatnya ini kisah teman saya Ibu Devota Maria Laiyan.

Begini kisahnya: Kawan saya bernama Devota Maria Laiyan. Dia seorang keturunan Ambon, tepatnya Tanimbar. Dia lahir dan besar di Jawa karena kedua orang tuanya mengembara ke Jawa dalam rangka ayahnya bertugas sebagai TNI Angkatan Darat. Karena itulah kawan saya yang Ambon ini sangat fasih berbahasa Jawa. Ditambah lagi suaminya pun orang Jawa. Jadilah dia Ambon gadungan. Orang Ambon yang sudah kehilangan perangkat dirinya sebagai orang Ambon. Keambonanya pudar karena jauh dari tanah leluhur.

Ketika sekolah kami berwisata ke Ambon. Betapa suka citanya kawan saya Ibu Maria ini. Pulang kampung diantar semua teman!

Ketika kami merayakan Ekaristi di Katedral Ambon, teman saya yang lain, Ibu Jossy sakit perut karena tragedi telat makan pada hari pertama kami tiba di Ambon, kami terlantar tidak diberi makan oleh agen perjalanan seperti yang dikisahkan pada Ambon Manise 1. Karena itu Ibu Jossy keluar gereja untuk mengurus dirinya. Namun, lebih dari 30 menit kok belum masuk juga. Saya sebagai teman dan sekaligus ketua bis 1, bertanggung jawab atas beliau. Beliau salah satu anggota bis 1. Maka keluarlah saya untuk mencarinya.

Rupanya Ibu Jossy memang parah sakitnya sehingga harus berada di luar gereja. Ketika berada di luar, ia berkenalan dengan koster gereja bernama Deny. Nah, Deny ini dari Tanimbar. Lantas, Bu Jossy ingat Ibu Maria. Akhirnya selesai Ekaristi, Ibu Maria diperkenalkan kepada Deny ini. Jadilah mengobrol. Dalam obrolan diberitahukan Deny bahwa ada Romo yang juga marganya Laiyan bertugas di Katedral Ambon. Penasaranlah Ibu Maria.

Saya yang menyaksikan juga ikut penasaran. Jadilah saya mengantar Ibu Maria untuk mencari pastor saudaranya itu. Kami bertanya pada beberapa orang yang berpapasan dengan kami. Mereka tidak menunjukkan dengan pasti di mana Romo Laiyan berada. Akhirnya kami mengetuk sekretariat pastoran. Petugas di sana memberitahukan bahwa ruangan Pastor Damianus Laiyan itu ada di samping.

Bergegaslah kami menuju ruangan yang ditunjukkan. Nampaknya tertutup. Namun kami ketuk sambil mengucapkan permisi. Taka da jawaban dan tanda-tanda pintu akan dibuka. Kami mencoba memutar gerendel pintu ruangan itu. Rupanya terkunci.

Lantas Ibu Maria berkata, “Ya sudah, mungkin aku belum jodoh ketemu bagian dari keluargaku.”  Lantas kami melangkah untuk menuju bis yang diparkir di jalan depan Katedral. Lima langkah kami berjalan. Mendadak terhenti karena terdengar suara pintu terbuka dan sebuah suara berlogat Ambon membentak kami, “ Siapa itu!”

Kami berdua terpana. Terutama Ibu Maria. Mendadak matanya yang menyuram berbinar penuh harapan. Kami membalik badan. Di lawang pintu berdiri seorang lelaki Ambon berbadan tegap, kira-kira berusia setengah baya lebih. Kami pun segera menghampiri sosok lelaki itu.

Ibu Maria segera mengulurkan tangannya.

 “ Halo, Pastor saya Devota Maria Laiyan. Apakah Pastor, Dammy Laiyan?”

“Ya. Kamu siapa?”

Dengan segera Ibu Maria mengulurkan kembali tangan yang sudah dilepaskan saat bersalaman tadi. Ia mencium tangan pria itu.

Saya memandang dengan penuh takjub adegan di hadapan saya. Saya melihat ada dua pribadi yang mereka satu darah, tak pernah bertemu sebelumnya. Sekarang mereka berhadapan dan saling memandang siapa diri lawan bicaranya.

Lantas Ibu Maria menjelaskan bahwa dia adalah anak dari Kakak Natalis Laiyan yang pergi mengembara ke Jawa 50 tahun lebih. Kemudian mengalirlah dari mulut mereka berdua pohon keluarga. Bagaimana hubungan kekerabatan mereka. Sama-sama bersemangat, sama-sama takjub. Bahwa ternyata ada orang lain yang juga marganya sama dan sekarang berhadapan.

Tiba-tiba Ibu Maria berkata,” Kenapa Pastor bisa Laiyan?”

Saya tertawa mendengar ucapan Bu Maria.

Rupanya Santo Fransiskus Xaverius mempertemukan dua saudara yang sebelumnya tak saling mengenal dan tak terbayangkan bisa bertemu. Bahkan, saya yakin Ibu Maria pun tak membayangkan akan mendapat rahmat pertemuan dengan saudara satu nama.

Ini sebuah keajaiban yang tentu saja tidak kebetulan. Pertemuan yang tidak sengaja. Tuhan membuat kita bertemu dengan orang-orang yang tidak ingin kita temui, tapi sebaliknya malah tidak pernah bertemu dengan orang-orang yang ingin kita temui, juga bertemu dengan orang yang tak pernah disangka-sangka bisa bertemu.

Tuhan selalu memberi arti di setiap pertemuan kita dengan orang lain. Demikian pula pertemuan Ibu Maria dengan saudara semarganya Romo Damianus Laiyan, MSC, membawa arti bagi persaudaraan Ibu Maria. Ibu Maria menemukan jejak keluarga di tanah leluhurnya.

Sering kali di dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak bertemu dengan orang lain di sekitar kita. Entah hanya bertemu, berpapasan, atau mungkin berada di suatu tempat yang sama, tetapi tidak saling menyadari. Namun, dalam sekejap semua itu hilang. Namun, yang Ibu Maria alami jelas berbeda.

Orang-orang datang dan pergi di kehidupan kita. Saya percaya, itu semua sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.  Entah untuk belajar atau mengajarkan, entah hanya untuk sesaat atau selamanya, entah nantinya akan menjadi bagian terpenting atau hanya sekedarnya.  Namun, saya percaya bahwa Yang Maha Kuasa mempunyai  tujuan memberikan makna di balik itu semua.

Makna pertemuan Ibu Maria dengan Romo Dammy, juga membawa rahmat suka cita bagi saya. Ketika kami pamit pada Romo Dammy, Romo memberikan berkat panjangnya untuk kami berdua. Beliau mengenakan stola dan menumpangkan kedua tangannya di atas kepala kami. Saya kebagian tangan kanan, Ibu Maria tangan kiri.

Saat memberikan berkat stola dikenakan Romo, ternyata ada maknanya pasti. Stola merupakan simbol pemimpin liturgi. Maka tidak boleh dikenakan oleh orang yang tidak ditahbiskan. Stola biasa dipakai saat memberikan Sakramen Pengampunan dosa, saat memberikan Sakramen Minyak Suci, dan saat memimpin ibadat lainnya. Atau saat memberikan berkat.  

Saat Romo Dommy menumpangkan dan memberkati kami, saya merasa sangat terharu. Begitu banyak doa berkat yang diungkapkan untuk kami berdua. Saya merasakan sukacita mengalir pada diri saya. Air mata saya merembes di pelupuk. Merasakan betapa kasih Tuhan tak terhingga sehingga saya diberikan berkat khusus dari seorang Romo yang tak pernah saya ketahui.

Terima kasih Romo Damianus Laiyan. Terima kasih Devota Maria Laiyan. Berkat nama kalian yang sama maka kalian bertemu. Berkat nama marga kalian, maka saya kecipratan sukacita dan berkat tumpangan tangan. Saya sungguh penuh oleh sukacita.

Saya sangat terharu. Hingga sampai bis saya masih menangis sesenggukan karena suka cita saya. Semua teman di bis bingung mengapa saya menangis. Saya bilang karena saya punya suka cita.

Saya merasa pengalaman di Ambon ini sangat berarti bagi saya. (Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar