WISATA KOTA
Malam terakhir di kota Ambon jatuh pada Rabu, 15 Mei 2018.
Kami penumpang bis 1 janjian akan mengadakan eksplorasi malam untuk melihat
dari dekat keadaan malam di Kota Ambon. Namun, tidak semua penumpang bis 1 bisa
bergabung. Akhirnya kami bergabung ada 11 orang untuk bereksplorasi. Diantarlah
kami oleh 3 pemuda Ambon yang jadi guide kami
yaitu Martin, Ronal, dan Celo.
Kami memutuskan untuk naik angkot terlebih dahulu menuju ke
Gong Perdamaian, Alun-alun Kota, dan
Balai Kota. Baru setelah itu kami makan malam. Kami mengambil 2 angkot yang memuat
kami. Saya naik angkot bersama dengan beberapa teman disertai Martin dan Ronal.
Di jalan angkot masih menaik turunkan penumpang. Kebetulan yang naik angkot
kami gadis-gadis manis Ambon. Maka terjadilah interaksi dengan gadis manis ini.
Kami menggoda para gadis tersebut dan menjodohkannya dengan Martin dan Ronal.
Tak pelak, para gadis ini merah padam mukanya kaena malu.
Kami turun di gong perdamaian. Maka kami, menuju dulu untuk
melihat dari dekat. Saat itu sedang ada acarapembacaan puisi digelar dalam
rangka bentuk kepedulian terhadap para korban bom Surabaya. Upanya yang sedang
pentas ini anak buahnya Martin, anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas Sastra Maluku. Setelah berfoto-foto dan duduk
menikmati malam di Taman Gong perdamaian ini, kami menyebrang untuk melihat
alun-alaun Ambon Manise, sekalian di dekatnya kanator Pemda Ambon.
Baru berikutnya kami berjalan kaki untuk mencari makan malam
kami. Kami makan di warung tenda yang menyajikan aneka lauk bakar-bakaran.Sudah
pasti disertai nasi panas, sambal, dan lalabnya. Ikannya besar-besar, segar,
dan rasanya manis lezat! Harga relative terjangkau.
Sejarah Kota Ambon
Kata “Ambon” dalam konteks pulau, sesungguhnya sudah dikenal
lama di wilayah Nusantara. Dalam buku “Nagarakartagama” yang ditulis Prapanca
dalam abad ke-14, nama Ambon diberikan pada sebuah pulau yang dibedakan dari
Maluku. Disebutkan daerah-daerah di Timur yang mempunyai hubungan dengan
Majapahit antara lain, Maloko, Ambwan dan Wandan. Maloko tidak lain adalah
empat kerajaan yang terdapat di Maluku Utara. Sedangkan Ambwan dan Wandan
diartikan dengan Ambon dan Banda dewasa ini.
Sejarah terbentuknya kota Ambon berawal dari bangsa Portugis
membangun sebuah benteng di pantai Honipopu, yang kemudian benteng itu diberi
nama “ Nossa Senhora da Anunciada”. Nama itu berkaitan dengan momentum
peletakan batu pertama yakni pada tanggal 23 Maret 1575 bertepatan dengan hari
kenaikan (Anunciada). Menurut saksi mata dari abad ke-17 dan ke-18, seperti
Imam Rijali, Rumphius maupun Valentijn, menyatakan bahwa dikalangan penduduk
pulau Ambon, benteng itu lebih dikenal dengan sebutan “Kota Laha” yang berarti;
kota (= benteng) dan laha (= diteluk). Sampai dengan saat ini penduduk pedesaan
di Maluku masih menyebut “benteng” dengan sebutan “kota”. Benteng ini pada
tahun 1605, direbut oleh Belanda untuk kemudian berganti nama menjadi
“Victoria” yang sekarang menjadi markas 733 Masariku.
Orang Portugis yang datang pertama di pulau ini juga
menyebutkan bahwa “Ambon” adalah nama sebuah pulau seperti tampak pada istilah
yang mereka gunakan “Ilhas de Amboyno” (pulau Ambon). Pada abad ke-16 Peter
Marta, seorang petinggi missionaris yang dikirim ke Maluku, menulis dalam
sebuah laporan, bahwa Ambon tidak sama dengan Maluku, tetapi merupakan bagian
tersendiri dari sebuah kepulauan. Kepulauan itu terdiri dari Ambon, Veranula
(Hoamual), Homa (Oma atau Haruku), Liacer (Uliase atau Saparua) dan Ruselao
(Nusalaut) [2]). Kata “Ambon” sebagai sebuah pulau dapat ditemukan juga dalam
hikayat Tanah Hitu yang ditulis oleh Imam Rijali. Dalam kaitan ini Rumphius
mempertegas tulisan Rijali dengan mengatakan bahwa nama Ambon itu digunakan
oleh penduduk pribumi untuk menyebut nama pulau tersebut [3]). Dengan demikian
tidak benar pendapat yang selama ini mengatakan, bahwa Ambon itu nama pulau
sedangkan Amboina (amboyno) nama kotanya. Sebab kata amboina atau amboyno dalam
bahasa Portugis bermakna pada pulau Ambon itu sendiri, bukan kota Ambon.
Istilah Portugis “Cidades de Aboyno” artinya kota di pulau Ambon. Sama halnya
dengan orang dewasa ini mengatakan “Kota Ambon” sesungguhnya bermakna kota di
pulau Ambon. Ini tentunya berbeda dengan Kota Tual di Pulau Kei Kecil atau Kota
Masohi di Pulau Seram.
Berdasarkan cerita rakyat yang dicatat oleh Residen van Wijk
(1937), diketahui bahwa luas lahan yang diserahkan Raja Soya kepada Portugis
pada tahun 1575 untuk membangun sebuah kota, terbentang dari pantai Honipopu
sampai dengan kaki bukit Soya. Batas sebelah Barat dengan wai (sungai)
Batugajah dan batas sebelah Timur dengan wai (sungai) Tomo. Di dataran rendah
yang cukup luas itulah Portugis membangun sebuah benteng lengkap dengan sebuah kota
di bagian selatannya. Walaupun lahan yang diberikan sampai menjangkau kaki
pegunungan Soya, namun kenyataannya luas kota Ambon pada masa Portugis hanya
setengah dari luas kota Ambon pada masa VOC (Belanda).
Sampai pertengahan abad ke-20 batas-batas alamiah kota Ambon
adalah Wai Batu Merah di sebelah Timur, wai Batugajah di sebelah Barat, teluk
Ambon disebelah Utara dan kaki pegunungan Soya disebelah Selatan. Berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 6 tahun 1888 tanggal 16
Mei 1888 (Staatsblaad No.91 Tahun 1888), diketahui luas wilayah kota Ambon
hanya 4,02 km². Dengan demikian sampai dengan awal abad ke-19 (peralihan dari
VOC ke Pemerintah Belanda) wilayah-wilayah seperti wai-Haong, Tanah Lapang
Kecil, Kudamati, Manggadua, serta benteng dan Karangpanjang belum terbentuk.
Namun beberapa jalan utama yang ada dalam kota ini, sesungguhnya telah dibangun
sejak abad ke-17.
Luas wilayah kota Ambon yang hanya 4,02 km² itu tidak
mengalami perubahan sampai dengan tahun 1978. Dengan demikian dapat dikatakan
sejak Indonesia Merdeka sampai dengan tahun 1978, luas wilayah kota Ambon tidak
mengalami perubahan yakni hanya 4,02 km². Wilayah dengan luas 4,02 km² inilah
yang kita sebut dengan istilah “Kota Ambon Lama”. Perubahan luas wilayah kota
Ambon, baru terjadi pada tahun 1979 yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah
Nomor 13 tahun 1979 (realisasi tahun 1980) yang antara lain menyatakan, bahwa
wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Ambon diperluas dari 4,02 km² menjadi
seluas 377 km². Demikian pula kecamatannya berubah dari satu kecamatan menjadi
tiga kecamatan sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. (Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar