Kamis, 28 Juni 2018

AMBON MANISE 11


WISATA KOTA


Malam terakhir di kota Ambon jatuh pada Rabu, 15 Mei 2018. Kami penumpang bis 1 janjian akan mengadakan eksplorasi malam untuk melihat dari dekat keadaan malam di Kota Ambon. Namun, tidak semua penumpang bis 1 bisa bergabung. Akhirnya kami bergabung ada 11 orang untuk bereksplorasi. Diantarlah kami oleh 3 pemuda Ambon yang jadi guide kami yaitu Martin, Ronal, dan Celo.

Kami memutuskan untuk naik angkot terlebih dahulu menuju ke Gong Perdamaian, Alun-alun Kota,   dan Balai Kota. Baru setelah itu kami makan malam. Kami mengambil 2 angkot yang memuat kami. Saya naik angkot bersama dengan beberapa teman disertai Martin dan Ronal. Di jalan angkot masih menaik turunkan penumpang. Kebetulan yang naik angkot kami gadis-gadis manis Ambon. Maka terjadilah interaksi dengan gadis manis ini. Kami menggoda para gadis tersebut dan menjodohkannya dengan Martin dan Ronal. Tak pelak, para gadis ini merah padam mukanya kaena malu.

Kami turun di gong perdamaian. Maka kami, menuju dulu untuk melihat dari dekat. Saat itu sedang ada acarapembacaan puisi digelar dalam rangka bentuk kepedulian terhadap para korban bom Surabaya. Upanya yang sedang pentas ini anak buahnya Martin, anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas  Sastra Maluku. Setelah berfoto-foto dan duduk menikmati malam di Taman Gong perdamaian ini, kami menyebrang untuk melihat alun-alaun Ambon Manise, sekalian di dekatnya kanator Pemda Ambon.

Baru berikutnya kami berjalan kaki untuk mencari makan malam kami. Kami makan di warung tenda yang menyajikan aneka lauk bakar-bakaran.Sudah pasti disertai nasi panas, sambal, dan lalabnya. Ikannya besar-besar, segar, dan rasanya manis lezat! Harga relative terjangkau.

Sejarah Kota Ambon


Kata “Ambon” dalam konteks pulau, sesungguhnya sudah dikenal lama di wilayah Nusantara. Dalam buku “Nagarakartagama” yang ditulis Prapanca dalam abad ke-14, nama Ambon diberikan pada sebuah pulau yang dibedakan dari Maluku. Disebutkan daerah-daerah di Timur yang mempunyai hubungan dengan Majapahit antara lain, Maloko, Ambwan dan Wandan. Maloko tidak lain adalah empat kerajaan yang terdapat di Maluku Utara. Sedangkan Ambwan dan Wandan diartikan dengan Ambon dan Banda dewasa ini.

Sejarah terbentuknya kota Ambon berawal dari bangsa Portugis membangun sebuah benteng di pantai Honipopu, yang kemudian benteng itu diberi nama “ Nossa Senhora da Anunciada”. Nama itu berkaitan dengan momentum peletakan batu pertama yakni pada tanggal 23 Maret 1575 bertepatan dengan hari kenaikan (Anunciada). Menurut saksi mata dari abad ke-17 dan ke-18, seperti Imam Rijali, Rumphius maupun Valentijn, menyatakan bahwa dikalangan penduduk pulau Ambon, benteng itu lebih dikenal dengan sebutan “Kota Laha” yang berarti; kota (= benteng) dan laha (= diteluk). Sampai dengan saat ini penduduk pedesaan di Maluku masih menyebut “benteng” dengan sebutan “kota”. Benteng ini pada tahun 1605, direbut oleh Belanda untuk kemudian berganti nama menjadi “Victoria” yang sekarang menjadi markas 733 Masariku.

Orang Portugis yang datang pertama di pulau ini juga menyebutkan bahwa “Ambon” adalah nama sebuah pulau seperti tampak pada istilah yang mereka gunakan “Ilhas de Amboyno” (pulau Ambon). Pada abad ke-16 Peter Marta, seorang petinggi missionaris yang dikirim ke Maluku, menulis dalam sebuah laporan, bahwa Ambon tidak sama dengan Maluku, tetapi merupakan bagian tersendiri dari sebuah kepulauan. Kepulauan itu terdiri dari Ambon, Veranula (Hoamual), Homa (Oma atau Haruku), Liacer (Uliase atau Saparua) dan Ruselao (Nusalaut) [2]). Kata “Ambon” sebagai sebuah pulau dapat ditemukan juga dalam hikayat Tanah Hitu yang ditulis oleh Imam Rijali. Dalam kaitan ini Rumphius mempertegas tulisan Rijali dengan mengatakan bahwa nama Ambon itu digunakan oleh penduduk pribumi untuk menyebut nama pulau tersebut [3]). Dengan demikian tidak benar pendapat yang selama ini mengatakan, bahwa Ambon itu nama pulau sedangkan Amboina (amboyno) nama kotanya. Sebab kata amboina atau amboyno dalam bahasa Portugis bermakna pada pulau Ambon itu sendiri, bukan kota Ambon. Istilah Portugis “Cidades de Aboyno” artinya kota di pulau Ambon. Sama halnya dengan orang dewasa ini mengatakan “Kota Ambon” sesungguhnya bermakna kota di pulau Ambon. Ini tentunya berbeda dengan Kota Tual di Pulau Kei Kecil atau Kota Masohi di Pulau Seram.

Berdasarkan cerita rakyat yang dicatat oleh Residen van Wijk (1937), diketahui bahwa luas lahan yang diserahkan Raja Soya kepada Portugis pada tahun 1575 untuk membangun sebuah kota, terbentang dari pantai Honipopu sampai dengan kaki bukit Soya. Batas sebelah Barat dengan wai (sungai) Batugajah dan batas sebelah Timur dengan wai (sungai) Tomo. Di dataran rendah yang cukup luas itulah Portugis membangun sebuah benteng lengkap dengan sebuah kota di bagian selatannya. Walaupun lahan yang diberikan sampai menjangkau kaki pegunungan Soya, namun kenyataannya luas kota Ambon pada masa Portugis hanya setengah dari luas kota Ambon pada masa VOC (Belanda).

Sampai pertengahan abad ke-20 batas-batas alamiah kota Ambon adalah Wai Batu Merah di sebelah Timur, wai Batugajah di sebelah Barat, teluk Ambon disebelah Utara dan kaki pegunungan Soya disebelah Selatan. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 6 tahun 1888 tanggal 16 Mei 1888 (Staatsblaad No.91 Tahun 1888), diketahui luas wilayah kota Ambon hanya 4,02 km². Dengan demikian sampai dengan awal abad ke-19 (peralihan dari VOC ke Pemerintah Belanda) wilayah-wilayah seperti wai-Haong, Tanah Lapang Kecil, Kudamati, Manggadua, serta benteng dan Karangpanjang belum terbentuk. Namun beberapa jalan utama yang ada dalam kota ini, sesungguhnya telah dibangun sejak abad ke-17.


Luas wilayah kota Ambon yang hanya 4,02 km² itu tidak mengalami perubahan sampai dengan tahun 1978. Dengan demikian dapat dikatakan sejak Indonesia Merdeka sampai dengan tahun 1978, luas wilayah kota Ambon tidak mengalami perubahan yakni hanya 4,02 km². Wilayah dengan luas 4,02 km² inilah yang kita sebut dengan istilah “Kota Ambon Lama”. Perubahan luas wilayah kota Ambon, baru terjadi pada tahun 1979 yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1979 (realisasi tahun 1980) yang antara lain menyatakan, bahwa wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Ambon diperluas dari 4,02 km² menjadi seluas 377 km². Demikian pula kecamatannya berubah dari satu kecamatan menjadi tiga kecamatan sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. (Ch. Enung Martina)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar