BELUT MOREA
Tepat di sebelah Desa Wakasihu kita akan menjumpai Desa
Larike, Desa ini terkenal hingga mancanegara dengan habitat alami dari
"Morea" atau belut raksasa, yang hidup alami di sungai. Belut ini
tidak dimakan oleh masyarakat setempat karena dianggap keramat oleh mereka. Belut
yang jumlahnya hingga ratusan ekor itu hidup alami di sepanjang sungai yang
jernih, berkembang biak di bawah bebatuan sungai, dan diberi makan ikan oleh
warga setempat maupun turis yang datang berkunjung untuk melihat dan
bermain-main dengan belut raksasa tersebut. Morea ini sangatlah jinak hingga
sebagian orang mencoba mengangkatnya meski tubuhnya yang licin seringkali
membuat mereka yang mengangkatnya akhirnya tak bisa meengangkatnya terlalu
lama.
Morea merupakan sebutan masyarakat setempat bagi belut
raksasa atau sidat. Panjangnya lebih dari 1 meter. Di kepalanya tumbuh telinga
(insang) di kiri dan kanan. Badannya licin, dan loreng-loreng. Jenis ikan Morea
ini hidup di air tawar (sungai) di sela-sela batu-batu yang besar selama usia
puluhan tahun. Saat belut morea atau yang dikenal juga dengan sebutan sidat ini
akan berkembang biak, mereka akan berenang ke lautan dan kemudian menetaskan
telur-telurnya di sana. Morea-morea kecil yang sudah menetas di laut tersebut
pada akhirnya akan berenang kembali masuk ke area sungai air tawar dan hidup di
sana hingga dewasa sampai akhirnya kembali lagi ke laut saat akan berkembang
biak, demikian seterusnya siklus hidup mereka.
Belut morea yang biasanya hidup di lautan air asin,
bisa-bisanya hidup di sungai air tawar gini ? Ternyata menurut info pengelola
setempat, terdapat lubang atau jalur sungai yang tembus ke pantai atau lautan
luas, yang membuat belut-belut dari lautan bisa masuk berenang hingga ke sungai
air tawar ini dan kemudian hidup menetap di sini.
Anguilla Marmorata adalah nama latin
dari ikan yang biasa di sebut moa, sidat, morea, atau pelus. Ikan ini biasanya hidup pada
perairan yang cukup dalam dan banyak lubang sebagai tempat persembunyianya. Suku
ini terdiri dari empat genus dengan 20 spesies. Anggotanya adalah pantropis
(ditemukan di semua wilayah tropis). Sidat (ordo Anguilliformes) atau yang
biasa di sebut belut adalah kelompok ikan yang memiliki tubuh berbentuk
menyerupai ular. Ikan ini masuk dalam Ordo Anguilliformes, yang terdiri atas 4
subordo, 19 famili, 110 genera, dan 400 spesies. Kebanyakan hidup di laut namun
ada pula yang hidup di air tawar.
Ikan sidat, pelus, morea, atau oleng adalah jenis ikan predator yang
bentuknya mirip seperti belut, di bagian belakang kepala terdapat sepasang
sirip mirip telinga sehingga banyak yang menyebutnya belut bertelinga atau moa,
ikan ini hidup di dalam air sungai, rawa ataupun di muara, berbeda dengan belut
yang lebih menyukai tempat berlumpur.
Lokasi kolam Morea di Desa Larike ini, masuk agak ke dalam
sekitar 50 meter dari jalan raya. Desa Larike sendiri berada di Kecamatan
Leihitu, Ambon, Maluku Tengah. Kalau dari Bandara Pattimura Ambon, bisa dicapai
dengan kendaraan roda dua atau ojeg, dengan jarak tempuh sekitar kurang lebih 1
jam.
Aturan adat di desa ini, menyebutkan larangan bagi warga untuk
mengambil atau memakan ikan morea ini. Entahlah apa alasan sesungguhnya. Tapi,
aturan itu bisa dipahami. Ikan Morea terhitung langka. Di negara-negara maju,
seperti Jepang, ikan sejenis ini banyak diburu. Konon karena kandungan gizinya
yang melebihi ikan-ikan lainnya. Kandungan gizi/protein ikan sidat, vitamin A
dalam hati ikan ini adalah sebesar 15.000 IU/100 gram. Ikan ini juga memiliki
kandungan DHA dan EPA masing-masing 1.377 mg/100 gram dan 742 mg/100 gram.
Omega 3 yang bagus untuk perkembangan otak juga ada di dalam ikan ini. Protein
yang tinggi ini dapat membantu orang dalam hal memori otak dan mencegah
kepikunan. Omega 3 juga memperkuat mental dan membantu manusia untuk
berkonsentrasi. Kandungan Omega 3 dalam ikan sidat ini bahkan lebih besar
dibanding ikan salmon yang di klaim kandungan gizinya paling baik. Wajar jika
ikan sidat ini sangaat di gemari orang eropa dan jepang. Kalau kita ngintip
kebudayaan Jepang sangat gemar sekali menyantap ikan sidat pada musim panas
sekitar bulan Juli, namanya Doyo usi no
gi.
Ada peraturan adat di desa ini untuk tidak memakan belut
morea. Dengan demikian, keberadaan aturan adat itu, turut melestarikan
kehidupan ikan morea. Penduduk setempat percaya bila memakannya dapat
menimbulkan masalah besar dalam hidupnya dan akan terkena hukum adat pula. Namun
ketegasan itu membuktikan bahwa kesadaran masyarakat akan kelestarian alam
amatlah penting. Maka, masyarakat di sekitar pun terus melestarikan keberadaan
belut-belut besar ini , juga sebagai wisata menarik di Negeri Larike.
Kisahnya, pada zaman dulu penduduk dari gunung ingin pindah
ke pinggiran pantai. Kebutuhan hidup di sana dinilai lebih banyak, seperti
makanan dan lain-lainnya. Lalu, dilemparlah tombak dari jauh (yang diyakini
berkekuatan gaib) dan tertancaplah di tanah yang sekarang di pinggirannya
kolam. Dari situ, keluarlah air dan ikan-ikan serta Morea. Pertanda ada mahluk
hidup di sana dan bisa menjadi tempat tinggal. Tapi tentu, mahluk-mahluk di
dalam airnya termasuk morea dilarang untuk dibunuh. Begitulah legendanya.
(Ch. Enung Martina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar