Rabu, 13 Juni 2018

AMBON MANISE 6


BELUT MOREA


Tepat di sebelah Desa Wakasihu kita akan menjumpai Desa Larike, Desa ini terkenal hingga mancanegara dengan habitat alami dari "Morea" atau belut raksasa, yang hidup alami di sungai. Belut ini tidak dimakan oleh masyarakat setempat karena dianggap keramat oleh mereka. Belut yang jumlahnya hingga ratusan ekor itu hidup alami di sepanjang sungai yang jernih, berkembang biak di bawah bebatuan sungai, dan diberi makan ikan oleh warga setempat maupun turis yang datang berkunjung untuk melihat dan bermain-main dengan belut raksasa tersebut. Morea ini sangatlah jinak hingga sebagian orang mencoba mengangkatnya meski tubuhnya yang licin seringkali membuat mereka yang mengangkatnya akhirnya tak bisa meengangkatnya terlalu lama.

Morea merupakan sebutan masyarakat setempat bagi belut raksasa atau sidat. Panjangnya lebih dari 1 meter. Di kepalanya tumbuh telinga (insang) di kiri dan kanan. Badannya licin, dan loreng-loreng. Jenis ikan Morea ini hidup di air tawar (sungai) di sela-sela batu-batu yang besar selama usia puluhan tahun. Saat belut morea atau yang dikenal juga dengan sebutan sidat ini akan berkembang biak, mereka akan berenang ke lautan dan kemudian menetaskan telur-telurnya di sana. Morea-morea kecil yang sudah menetas di laut tersebut pada akhirnya akan berenang kembali masuk ke area sungai air tawar dan hidup di sana hingga dewasa sampai akhirnya kembali lagi ke laut saat akan berkembang biak, demikian seterusnya siklus hidup mereka.

Belut morea yang biasanya hidup di lautan air asin, bisa-bisanya hidup di sungai air tawar gini ? Ternyata menurut info pengelola setempat, terdapat lubang atau jalur sungai yang tembus ke pantai atau lautan luas, yang membuat belut-belut dari lautan bisa masuk berenang hingga ke sungai air tawar ini dan kemudian hidup menetap di sini.

Anguilla Marmorata adalah nama latin dari ikan yang biasa di sebut moa, sidat, morea,  atau pelus. Ikan ini biasanya hidup pada perairan yang cukup dalam dan banyak lubang sebagai tempat persembunyianya. Suku ini terdiri dari empat genus dengan 20 spesies. Anggotanya adalah pantropis (ditemukan di semua wilayah tropis). Sidat (ordo Anguilliformes) atau yang biasa di sebut belut adalah kelompok ikan yang memiliki tubuh berbentuk menyerupai ular. Ikan ini masuk dalam Ordo Anguilliformes, yang terdiri atas 4 subordo, 19 famili, 110 genera, dan 400 spesies. Kebanyakan hidup di laut namun ada pula yang hidup di air tawar.

Ikan sidat, pelus, morea,  atau oleng adalah jenis ikan predator yang bentuknya mirip seperti belut, di bagian belakang kepala terdapat sepasang sirip mirip telinga sehingga banyak yang menyebutnya belut bertelinga atau moa, ikan ini hidup di dalam air sungai, rawa ataupun di muara, berbeda dengan belut yang lebih menyukai tempat berlumpur.

Lokasi kolam Morea di Desa Larike ini, masuk agak ke dalam sekitar 50 meter dari jalan raya. Desa Larike sendiri berada di Kecamatan Leihitu, Ambon, Maluku Tengah. Kalau dari Bandara Pattimura Ambon, bisa dicapai dengan kendaraan roda dua atau ojeg, dengan jarak tempuh sekitar kurang lebih 1 jam.

Aturan adat di desa ini, menyebutkan larangan bagi warga untuk mengambil atau memakan ikan morea ini. Entahlah apa alasan sesungguhnya. Tapi, aturan itu bisa dipahami. Ikan Morea terhitung langka. Di negara-negara maju, seperti Jepang, ikan sejenis ini banyak diburu. Konon karena kandungan gizinya yang melebihi ikan-ikan lainnya. Kandungan gizi/protein ikan sidat, vitamin A dalam hati ikan ini adalah sebesar 15.000 IU/100 gram. Ikan ini juga memiliki kandungan DHA dan EPA masing-masing 1.377 mg/100 gram dan 742 mg/100 gram. Omega 3 yang bagus untuk perkembangan otak juga ada di dalam ikan ini. Protein yang tinggi ini dapat membantu orang dalam hal memori otak dan mencegah kepikunan. Omega 3 juga memperkuat mental dan membantu manusia untuk berkonsentrasi. Kandungan Omega 3 dalam ikan sidat ini bahkan lebih besar dibanding ikan salmon yang di klaim kandungan gizinya paling baik. Wajar jika ikan sidat ini sangaat di gemari orang eropa dan jepang. Kalau kita ngintip kebudayaan Jepang sangat gemar sekali menyantap ikan sidat pada musim panas sekitar bulan Juli, namanya Doyo usi no gi.

Ada peraturan adat di desa ini untuk tidak memakan belut morea. Dengan demikian, keberadaan aturan adat itu, turut melestarikan kehidupan ikan morea. Penduduk setempat percaya bila memakannya dapat menimbulkan masalah besar dalam hidupnya dan akan terkena hukum adat pula. Namun ketegasan itu membuktikan bahwa kesadaran masyarakat akan kelestarian alam amatlah penting. Maka, masyarakat di sekitar pun terus melestarikan keberadaan belut-belut besar ini , juga sebagai wisata menarik di Negeri Larike.

Kisahnya, pada zaman dulu penduduk dari gunung ingin pindah ke pinggiran pantai. Kebutuhan hidup di sana dinilai lebih banyak, seperti makanan dan lain-lainnya. Lalu, dilemparlah tombak dari jauh (yang diyakini berkekuatan gaib) dan tertancaplah di tanah yang sekarang di pinggirannya kolam. Dari situ, keluarlah air dan ikan-ikan serta Morea. Pertanda ada mahluk hidup di sana dan bisa menjadi tempat tinggal. Tapi tentu, mahluk-mahluk di dalam airnya termasuk morea dilarang untuk dibunuh. Begitulah legendanya.

(Ch. Enung Martina)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar